Jumat, 24 Desember 2010

Loyauté

“Saat dia pergi, kau barulah sadar kalau kau sudah terlambat menyimpan rasa padanya.”
Saint Seiya: The Lost Canvas© Teshirogi Shiori x Masami Kurumada
Loyaute© Aletha-rizu09
Warn: Heavy spoiler untuk chapter 203-204. Fokus di chapter 204. Rating T+ untuk scene darah. Missing plot mungkin? 2nd person POV
Don’t like? Don’t read!!
~~~~0000~~~~
Loyauté
“Ini semua karena kesetiaannya, kau menyimpan perasaan padanya.”
.
.
“RHADAMANTHYS!!!!” Kau berteriak histeris saat mengetahui dia yang kau panggil Rhadamanthys rubuh dengan keadaan tubuhnya semakin tak tergambarkan dimatamu, setelah memecahkan sebuah pelindung kanvas besar dengan gambar seorang gadis yang terlukis. Darah mengucur deras—bahkan meluap keluar dari tubuh pria itu yang sudah terbelah menjadi dua. Kau sendiri tak berhenti meneriakkan nama pria yang sudah terbenam dalam darahnya sendiri sembari memaksa kedua kakimu berlari menuju tempat pria itu.
Tak jauh dari tempat si pria rubuh, pemuda berambut hitam memandangimu.
“Dia tak akan selamat, Pandora. Dari awal, jantungnya sudah dibunuh Saint emas Leo.” ujar pemuda itu dingin. Kau tak memperdulikannya, yang kau inginkan hanya melihat keadaan si pria yang disebutmu Rhadamanthys.
“Rha.. Rhadamanthys..” Air matamu sudah menggantung saat melihat keadaan pria berambut kuning dalam balutan warna merah yang bersumber dari tubuhnya yang sudah menjadi separuh. Dia yang kau panggil Rhadamanthys tak membuka matanya—tak seperti biasanya saat kau memanggil namanya dahulu. Hanya tergeletak dengan darah yang menodai surplice hitamnya dan mengalir diatas lantai marmer tempatnya tergeletak. Memberanikan diri, kau meniti langkahmu untuk menghampirinya. Sepatumu pun terciprat darahnya yang terlanjur menggenang. Tak peduli, kau bersimpuh tepat disampingnya yang kau sebut Rhadamanthys—nama seorang specter yang juga salah satu pusat komando tuanmu. Seorang specter yang sampai rela mengorbankan sebagian tubuhnya hilang.
Kau yang masih duduk bersimpuh di samping pria itu tak bisa berkata apa-apa. Karena kau tahu, ‘semua sudah terlambat’. Dan sekali lagi air matamu mulai berjatuhan, walau sudah beberapa kali kau tahan. Walau lisanmu tak mau bergerak, kedua tanganmu tak mau diam. Kedua tanganmu mengangkat belahan tubuh pria itu dan membawanya dalam pelukanmu. Kau pun sudah tidak peduli darah yang mengalir dari daging bagian dalam tubuh pria dalam pelukanmu itu mengotori tubuh dan gaunmu, kau hanya ingin dekat dengannya di saat terakhir kau bisa memeluknya seperti ini—untuk yang pertama kali dan juga terakhir kali.
“Bodoh, tubuhmu semakin dingin. Apa kau harus melayani tuanmu sampai seperti ini?” Kau mulai berbicara, menanyakan pertanyaan yang tak mungkin terjawab.
“Kau selalu begitu. Kau selalu saja berkorban untuk pasukan Hades.” Pertanyaanmu semula berganti dengan pernyataan. Tangan kananmu pun tak berhenti membelai rambut kuning pria itu.
“Sama seperti pertemuan kita yang pertama…” Dan kau mulai bercerita tentang masa lalumu, ketika kau masih kecil dahulu. Dan juga pertemuanmu dengan pria berambut kuning yang kau belai rambutnya sekarang.
“Waktu itu, aku adalah tahanan dari perasaan sepi dalam diriku, setelah aku kehilangan rumah dan juga keluargaku. Lalu tanpa mengerti apa yang sedang terjadi sebenarnya, aku terpilih menjadi pemimpin pasukan Hades ini. Dihormati oleh semua orang, walau sebenarnya aku sendiri tak menginginkannya.” Kau menghentikan lisanmu sejenak, saat pikiranmu terbawa pada masa lalumu.
.
Kau yang masihlah muda duduk di sebuah singgasana yang dihadapannya terhampar kain merah dengan orang-orang berpakaian zirah hitam sederhana membungkukkan tubuh mereka dan menundukkan wajah mereka padamu.
Tak lama kemudian, muncul seorang pria dan seorang pemuda yang berjalan beriringan di atas hamparan kain merah dihadapanmu. Saat si pria menghentikan langkahnya, pemuda yang berjalan dibelakang pun menghentikan langkahnya.
Kau memandangi pria yang berdiri di depan saat kau tahu, pria itu juga melempar pandangan padamu. Tanpa kau ketahui, pemuda yang berdiri di belakang pria itu menatapmu tak suka. Tapi, kau sendiri masih tak mengalihkan pandanganmu pada si pria yang jelas jauh lebih tua dan dewasa darimu.
Lama saling bertukar pandang, si pria tiba-tiba membungkukkan badan dan menundukkan kepalanya padamu—membuatmu terkejut akan perbuatan yang dilakukan pria berambut kuning itu.
Dan itulah saat pertama kali bagimu diberi penghormatan dan diterima oleh salah satu specter tertinggi di dunia bawah yang berada dalam pengawasanmu.
.
“Kaulah satu-satunya yang terus melayaniku, apa pun yang terjadi. Aku tahu itu tidak ditujukan khusus untukku, tapi aku selalu merasa kau-lah satu-satunya yang akan bersamaku sampai akhir. Sama seperti sekarang…” Bulir air matamu tiba-tiba saja jatuh di atas wajah pria yang masih kau peluk, walau darahnya kian mewarnai kaki dan dadamu yang menjadi sandarannya. Kesedihan dan penyesalanmu pun mengalir melalui air mata yang sedari tadi hanya kau tahan. Ya, semua akhirnya menjadi satu.
“Tidak apa jika kau tak memandangku secara istimewa… kebenarannya adalah, berada disisimu itu sudah cukup, Rhadamanthys.” Tangisanmu pun sayup-sayup pecah saat kau tahu, perasaanmu meluap melalui lisanmu. Kau yang sekarang hanya ingin bersamanya. Ingin bersama Rhadamanthys yang dahulu selalu setia melayani dan melindungimu—yang selalu bersamamu hingga gugur dipelukanmu.
.
.
“Waktunya berpisah, Pandora.” Suara pemuda yang sama memanggilmu dan membuatmu meliriknya, walau kalimatnya tak sepenuhnya kau dengarkan.
“Sungguh pria yang hebat, Rhadamanthys. Untuk membuat satu peluang untuk mengalahkanku, kau mengorbankan tubuhmu sendiri, lalu menghancurkan lukisan Athena dan melepaskan kekuatan Dewi-nya. Warnamu yang sebenarnya sungguhlah hidup. Tapi,” Kau mendengar pemuda itu memberi jeda pada kalimatnya, seiring dengan matanya yang menatapmu dan Rhadamanthys tajam.
“Menghancurkan kanvas yang merupakan perwujudan rasa cintaku adalah kejahatan yang tak termaafkan. Bahkan menghancurkanmu dan menjadikanmu warna saja tidak cukup.” Kau yang mendengar kalimat pemuda berambut hitam itu yang ditujukan pada Rhadamanthys dalam pelukanmu masih diam tak menggubris, walau kau tahu cosmo pemuda didepannya meningkat drastis.
“Dia tak perlu dikasihani. Itu hanya akan menuntunnya menuju kematian dan penderitaan abadi.” Kau melihat pemuda itu mengulurkan tangannya padamu, sembari mengumpulkan beberapa sinar yang menjadi kekuatannya. Tanpa berkata-kata, kau alihkan pandanganmu dari si pemuda berliontin pentagram itu. Kepala Rhadamanthys yang kau sandarkan padamu kau peluk erat.
“Pandora?” Satu kalimat tanya singkat keluar dari lisan pemuda itu yang ditujukan padamu.
“Jadi begitu, kau ingin mati bersamanya, ya?” Kau tak menjawab. Diam adalah jawaban iya bagimu. Tanpa kau ketahui, sinar ditangan si pemuda sudah sepenuhnya berkumpul pada telapak tangannya.
“Baiklah, keinginanmu akan terkabul!!” Kau menoleh lagi pada si pemuda, saat si pemuda sudah mengirimkan sinar ditangannya yang ditujukan padamu dan specter dengan surplice Wyvern dalam pelukanmu.
‘Ini akhir daripada aku juga, Rhadamanthys.’ Batinmu yang berkata membuatmu tersenyum miris saat tahu sinar itu semakin dekat.
‘Jadi, kita akan selalu bersama.’ Setelah batinmu selesai berkata dan benar-benar siap menerima terjangan sinar itu, kau mulai memejamkan mata. Berharap semua akan cepat selesai, dan dia akan bangun bersama Rhadamanthys di dunia lain yang lebih damai.
Namun, saat matamu hampir saja tertutup, sebuah cengkraman kuat mencengkram bahumu, dan mendorongmu jauh dari sisinya. Matamu membesar saat mengetahui siapa yang mendorong tubuhmu.
Pria berambut kuning yang sedari tadi hanya tersandar padamu. Yang rambutnya kau belai. Yang kau utarakan perasaanmu tanpa sepengetahuannya.
‘Masih hidup..Rhada.’
“Nona Pandora!!!” Ya, Rhadamanthys membuka sepasang mata cokelatnya—membuat air matamu menggenang kembali saat mendengar suara Rhadamanthys lagi.
“Anda harus tetap hidup!!!” Kau tersentak mendengar kalimat lantang Rhadamanthys padamu sembari mempersiapkan serangan balasannya—berdiri gagah di hadapannya.
“Demi pasukan Hades,” Kau yang hanya bisa melihat punggung pria itu sempat melihat darah keluar lagi dari mulutnya—memotong kalimatnya.
“Bukan untukku!!” Dan satu kata terakhir yang diucapkan Rhadamanthys terdengar olehmu, sebelum tubuh specter itu hancur termakan bentrokan kekuatannya dan sinar dari pemuda pemegang titel ‘Hades’.
.
Kau tak bisa melihatnya lagi. Pandangan terakhir tentangnya yang kau tangkap adalah punggungnya yang menghilang ditengah bentrokan cahaya. Ya, akhir baginya yang lagi-lagi melindungimu. Air mata membasahi pipi persikmu, saat kau sadar Rhadamanthys yang selalu bersamamu tak akan ada lagi. Saat kau sadar, kau sangat terlambat menyadari perasaanmu pada specter bawahanmu itu. Dan saat kau sadar, satu-satunya pria yang kau taruh perasaanmu tak akan ada lagi untuk mendengarkan perasaanmu bahwa, kini kau sangat mencintainya.
.
.
End: Loyaute
December 21st 2010
~~~~0000~~~~
#np: Rapuh – Joeniar Arief
A/N: Kembali dengan Rizu lagi setelah hiatus untuk waktu yang lama. Akhir-akhir ini ide suka ada-pergi bolak-balik. Kali ini fic dengan heavy spoiler untuk chapter 203-204 SS: TLC yang ber-pair-kan Rhadamanthys/Pandora atau sebaliknya (sama saja). Untuk dialognya, saya sebenarnya kurang yakin karena berbahasa Spanyol, terus di-translate ke bahasa Inggris terus translate sendiri ke bahasa Indonesia. Jadi, maaf kalau ada kesalahan dan maaf kalau fic-nya semakin tidak berkualitas a.k.a semakin geje –nunduk-.
Rizu, sign out.
p.s: RIP Rhadamanthys Ji-chan :(
~Loyauté: ‘Kesetiaan’ –bahasa Perancis

Kamis, 26 Agustus 2010

Galau. Labil

Galau. Labil.
Semua bercampur jadi satu.
Galau. Labil.
Bercampur menjadi emosi negatif.
Galau. Labil.
Emosi yang terombang-ambing.
Galau. Labil.
Tak seorang pun tahu kepastiannya.
Galau. Labil.
Antara senang atau sedih.
Galau. Labil.
Tak stabil, tak tentu.

Rabu, 11 Agustus 2010

Pindar

Pindar berarti 'father of song', julukan untuk Orpheus.
.
.
Kau adalah Dewa. Ayahmu adalah raja darimu, ibumu, saudaramu, saudarimu, paman dan bibimu bahkan musuhmu.
Parasmu serupa dengan adikmu--hanya saja punyamu lebih tampan.
.
Kau adalah Dewa. Lyra terbuat dari emas selalu berada di genggamanmu. Tali busur panah emas-mu pun menggantung di dada dan bahu kekarmu.
Jemarimu selalu tampak mahir memetik senar 'harpa' kecil-mu itu. Walau jarang kau pakai, tetapi busur panah di punggungmu terlihat tak keberatan--dan sama sekali tidak iri pada si lyra.
Tak butuh waktu lama, kau pun menjadi perwujudan sang Helios
.
Kau adalah Dewa.
Seluruh orang memujamu.
Keindahan nada-nada dari lyra dan jemari lentikmu membuat orang itu menari senang, atau bahkan membunuh diri mereka sendiri.
.
Lalu, kau pun bertemu dengannya.
Mata biru langitmu bertemu mata biru langit miliknya.
Wajah agungmu bertemu wajah polosnya.
-
Orpheus. Begitulah ia mengenalkan namanya padamu.
Tersenyum sejenak, kau menemukan hal menarik dalam diri anak laki-laki itu.
Tak perlu waktu yang lama, kau memberinya satu dari lyra milikmu.
Dan mengajarinya cara memainkan instrumen yang melekat pada sosokmu yang tampan dan agung.
.
Setelah ia dewasa, kau pun bangga layaknya seorang ayah yang bangga pada putranya. Muridmu berhasil membius Hades-pamanmu dan Persephone-saudari tirimu dengan permainan musik yang kau ajarkan padanya.
Setelahnya, kau tetap tidak kecewa atau menyesal saat muridmu dikenal sebagai 'Pindar'-bukan engkau.
.
.
Karena kau adalah Dewa dan guru daripada 'Pindar'-mu.
-
-
Hiyaa, akhirnya bikin short fic lagi~
Orpheus dan -pip- /plak
.
Orpheus dan gurunya punya mitologi Yunani, sementara sosoknya pinjem dari Saint Seiya punya Masami Kurumada :)

Sabtu, 07 Agustus 2010

Credits

FREE 520 FACEBOOK CREDITS FOR LIMITED TIME ONLY HURRY UP!! - http://bit.ly/GetMyCredits

Sabtu, 24 Juli 2010

Perbandingan

Ayahku adalah orang yang kuat pendiriannya, tegas dalam pilihannya, tak terpengaruh dan bisa meyakinkan bahwa dia adalah orang yang benar-benar mempertahankan keyakinan dan pendiriannya. Orang yang hampir menolak pernyataan yang tak sesuai dengan pandangannya.
Seperti negara Jepang yang benar-benar mempertahankan budaya asli dan kuat dalam nasionalisme-nya.
.
Ibuku adalah orang yang mencintai seni dan literatur. Dia-lah yang pertama menyatakan gambar-gambar-ku selama ini sangatlah bagus dan selalu mendukungku untuk maju dalam dunia literatur dan tulis-menulis selain belajar demi cita-cita-ku. Aku pun menyukai karya seni-nya dan ketertarikannya dalam dunia seni, walau dia tak terjun kedalamnya.
Seperti negara Yunani yang kukagumi dari seni klasiknya yang tersohor di negaranya--dan merupakan ciri khas bangunan bersejarah di negaranya sendiri pula.
.
Almarhumah kakak-ku bagaikan belahan pinang yang selalu tinggal di dalam hati saya. Sosok yang lebih berpikir dewasa ketimbang saya yang masih emosional. Walau aku tak tahu wujud kakak, pastilah dia adalah seseorang yang lebih sempurna dari saya.
Seperti negara Amerika yang lebih sempurna dari negara-negara lain, dalam segala hal--dengan titel 'Negara Adikuasa' yang disandangnya.
.
Adik laki-lakiku adalah satu-satunya anak laki-laki dikeluarga kecil kami ini. Tangannya sungguh terampil dalam menyusun teka-teki puzzle dan semacam balok yang disusun membentuk sebuah benda. Tangannya yang terampil itulah yang diandalkan. Biasanya, dialah yang diharapkan oleh ayah dalam membantu pekerjaannya di tekhnisi dan automotif.
Seperti negara Jerman yang sudah menciptakan beberapa merek mobil ternama di dunia oleh tangan-tangan terampil para pekerjanya atau SDM-nya.
.
Adik perempuanku--anak bungsu dirumah adalah anak kesayangan ibu. Pribadinya kuat, namun sifatnya egois. Ringan tangan dan lincah. Walaupun badannya kecil, dia termasuk anak yang pintar dan paling aktif dirumah. Terbuka pada siapapun dan tidak canggung dalam berteman.
Sama seperti negara Korea Selatan yang merupakan salah satu negara kecil di Asia namun lebih terbuka daripada Jepang di era globalisasi ini. Terbukti diperbolehkannya menggunakan bahasa Inggris di negara tetangga Jepang dan Cina itu.
.
Dan saya sebagai Indonesia. Terkadang rapuh, emosional, ingin terlihat sebagai orang 'berhasil' tapi tak memperdulikan orang lain yang kesusahan, malas dan mau saja dimanfaatkan orang lain.
Tak jauh beda dengan negara dibawah naungan Garuda itu.
Indonesia yang rapuh terkadang memaksakan dirinya ingin 'maju' dan dinilai sebagai negara yang kaya, tapi tidak memperdulikan masyarakatnya yang miskin yang rela berjemur dibawah matahari dan mengadahkan tangannya--meminta uang. Masyarakatnya pun malas-malas semua, sampai jumlah pengangguran bertumpuk.. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan SDA dan jumlah SDM yang banyak--timpang dengan kualitas SDM-nya. SDA yang melimpah itupun digunakan para pengusaha asing yang memanfaatkan SDA milik Indonesia. Masyaratkat Indonesia bahkan rela menjadi buruh di negara sendiri.
.
Ini hanya berupa catatan (tak penting) milik saya yang berdasar pada pemikiran saya tentang negara-negara yang saya ambil sebagai contoh dan kesamaannya dengan sifat keluarga saya.
Disini saya sebagai Indonesia, karena saya sama rapuhnya seperti Indonesia.

Jumat, 23 Juli 2010

Candu Vs. Sibuk

Hiyaaa, akhirnya kembali ke LJ /ditampar
Kenapa saya berkata begini?
Saya hampir tidak punya waktu untuk membuka LJ, bahkan tidak punya waktu untuk menulis--kerja sampingan saya diwaktu luang!!
Dan bawaannya sudah malas saja, kalau badan sudah capek dan pikiran penuh pikiran akan tugas-tugas.
Ini saja saya belum mencari gambar untuk presentasi Biologi, belum mengerjakan PR Fisika, PR Kimia, belajar untuk tes mendadak MTK, buat pidato dan lain-lain.
Untungnya, saya sudah mengurangi beberapa ekskul yang memberatkan fisik (dan pikiran), dan pastinya menambahkan waktu bebas saya.
Tapi...
Namanya juga anak IPA yang dituntut unggul dalam mapel yang bersangkutan dan guna untuk mempertanggung jawabkan pilihan masuk IPA, waktu bebas kembali menjadi waktu sibuk guna mencari buku kesana-sini, dan baca buku bilingual setebal buku telepon kuning besar. @.@
.
Tadi saya hanya bercerita tentang bagian sibuk saja. Sesuai judul, saya baru kecanduan. Bukan kecanduan obat! Kalaupun kecanduan mitologi, sudah dari zaman SMP kelas 3. Ini tentang kecanduan -ehem- yaoi rated M /dilemparlembing.
Dan penyebabnya adalah keberadaan fic rated M dari pair OTP saya:
Defmita
aka Defteros/Asmita dan Minos/Albafica.
Berkat fic yaoi itu, saya mulai melupakan beberapa pair straight yang semula saya unggulkan; terkecuali Thanatos/Macaria, Hades/Persephone, Ares/Athena dan Riku/Suzu (yang crack) yang memang sudah melekat pada otak yang masih normal.
Berkat teman saya, saya lebih cenderung freak pada yaoi ketimbang straight yang adem-ayem XD
.
Antara candu hal yang tidak normal melawan kesibukan yang hyper, belum ada yang menang -alah, bahasanya-

Selasa, 13 Juli 2010

XI IA 2

Tepat tanggal 12 Juli kemarin, waktu liburan saya berakhir dengan masuknya anak-anak sekolah--memulai kegiatan belajar mengajar di tahun ajaran baru.
Yang naik kelas, naik kelas. Yang enggak naik kelas, ikutan MOS. Eh, ah kidding!
Alhamdulillah warga muda (baca: siswa-siswi) SMAN 1 Bekasi naik kelas semuanya <--tidak efektif. Dan pada hari itu, pembagian kelas pun dibagikan. Saya berhasil masuk kelas IPA, dan ditempatkan di kelas XI IA 2. Dan spesialnya, saya satu-satunya absen huruf 'I' di kelas itu.
.
Oke, lupakan kesalahan teknis di atas.
Intinya, saya berhasil naik kelas dan menempati kelas IA 2 dengan nomor absen 27 dari absen awal 17 di kelas X
Di kelas IA 2 ini, saya merasa ada yang aneh.
Bukan situasi kelas dan teman-temannya, hanya saja kelas ini pernah ditempati oleh seorang sahabat saya yang pernah saya panggil 'Abel'.
Antara senang atau tidak, saya juga bingung dengan perasaan 'aneh' ini.
.
Kalau mau bilang tentang suasana dan atmosfer-nya pun tidak ada yang berubah. Karena, ya begitu. Terlalu frontal untukdinyatakan dalam sebuah blog pribadi.
At least, itu saja yang ingin saya sampaikan.
Sudah lama tidak nge-blog ^^

Kamis, 01 Juli 2010

Berbahagialah, Tidur

Saint Seiya and Saint Seiya: The Lost Canvas© Kurumada Masami x Teshirogi Shiori
Berbahagialah, Tidur© Rizu Auxe09

Warning: Ada sedikit (atau mungkin banyak) hal-hal yang bercampur aduk dengan mitologi Yunani, perihal Hypnos yang sudah memiliki istri, Morpheus, Icelus atau Phoebetor dan Phantasos yang merupakan anak-anak Hypnos, dan Oneiros atau Oneiroi yang merupakan saudara Hypnos. Mungkin ada banyak AU dan sedikit OOC? Don’t like? Don’t read!!

Chara: Hypnos

Summary: Tidur tidak akan pernah lepas dari halusinasi yang disebut mimpi

~~~~~0000~~~~~

A/N: Ah lagi-lagi fic yang berhubungan dengan para specter Hades. –ngacakngacakrambut-. Tapi mau bagaimana lagi ya, ide tentang gold saint masih mampet. Yaaaah, sudahlah. Ada yang mau baca, syukur, gak ada pun, tidak apa-apa –apatis-.
Happy reading :)

~~~~~0000~~~~~

Berbahagialah, Tidur

Seorang pria berambut kuning keemasan duduk rapi dengan sebuah buku di pangkuannya. Kacamata yang dikenakanya membantunya membaca rentetan tulisan abstrak yang dinamakan ‘teks’ atau ‘kalimat’ itu lebih jelas. Sebenarnya, tidak ada alasan yang pasti mengapa pria itu memilih membaca buku ketimbang melakukan hal lain.

Perang telah usai dengan kemenangan Athena dan Saint Pegasus yang mengalahkan Hades—paman Athena sendiri.

Setidaknya, dunia kembali menjadi tenang dan damai. Baik itu dunia di permukaan atau dunia di perut bumi.

Terasa hanya sebentar. Rasanya baru kemarin, seorang anak berambut pirang yang memiliki jiwa tersuci dan terbersih di dunia diketahui memegang liontin pentagram—tanda kebesaran Hades.

Pria itu menghela nafasnya sebentar, melepas kacamata bacanya dan memijit kelopak matanya sebentar. Buku yang barusan ia baca, akhirnya ia tutup setelah memberi pembatas pada halaman yang terakhir ia baca.

Rasanya, kalau dunia terlalu damai, segalanya menjadi bosan.

“Membaca apa lagi kau, Hypnos?” Tiba-tiba seorang pria lain dengan wajah yang identik dengannya datang menghampiri pria dengan simbol hexagram di dahinya itu.

Pria bernama Hypnos hanya menatapi langkah pria berwajah sama dengannya yang semakin mendekati tempatnya.

“Itu terserah aku ‘kan, Thanatos?” Hypnos malah membalikkan pertanyaan pria berambut keperakan itu. Pria dengan tanda pentagram hitam penuh di dahinya itu—Thanatos tertawa kecil.

“Iya juga, ya adik kecil. Itu ‘kan wewenangmu.” kata Thanatos lalu duduk di atas meja di dekat kursi Hypnos.

“Jangan panggil aku ‘adik kecil’. Seingatku, aku bahkan tak pernah memanggilmu ‘kakak’.” balas Hypnos dingin pada ‘kakak besar’-nya.

“Wajah kita memang sama. Umur apalagi. Tapi, jarak kelahiran kita hanya beda beberapa menit.”

“Untungnya, perbedaan menit itu juga berpengaruh pada sifat dan sikap dan membuatnya berbeda pula. Kau lebih agresif, berandal, ceroboh dan tak bisa diam.”

“Iya-iya, aku tahu tuan dingin yang selalu teliti dan perfeksionis. Tapi, aku tak menyangka kau bisa menikah lebih dulu dariku dan memiliki pasukan pribadi yang terdiri dari keluarga sendiri.”

Jeda. Tiba-tiba saja Hypnos menghentikan perdebatannya dengan belahan pinangnya setelah mendengar baris kalimat yang baru terucap. Matanya sebentar menerawang ke titik terjauh di ruangan yang ia tempati itu.

Tak sadar, pikirannya kosong—membawanya masuk ke alam bawah sadarnya.

“Tolong jaga anak-anak kita. Maafkan aku, Tuan Hades membutuhkanku.”

“Hypnos, Hypnos!” Thanatos berteriak lantang, bahkan hampir saja ia menampar pipi adik kembarnya kalau saja kelopak mata Hypnos tidak berkedip lagi—kembali pada dunia nyata.

“Thanatos.”

“Kau ini kenapa, Hypnos?!” Hypnos memperhatikan emosi Thanatos yang mencerminkan kekhawatiran itu seksama. Ia lalu tersenyum dan tertunduk.

“Thanatos,” Hypnos tiba-tiba memanggil nama kembarannya.

“Bisa tinggalkan aku sendiri disini? Kau mengganggu jam membacaku!”Ekspresi Thanatos langsung berubah saat mendengar kalimat Hypnos. Ia tahu, adik berwajah sama dengannya sedang diliputi kegalauan, namun tak sepatah kata penuh kekhawatiran seperti tadi bisa keluar dari mulutnya.

“Tolong, kakak..” Thanatos lalu mengangguk patuh saat adiknya sudah meminta dengan suara lirih seperti itu. Thanatos memutar badannya dan melangkah menuju pintu keluar perpustakaan milik Tuan besarnya.

‘Semoga kau tidak apa-apa.’

~~~~~0000~~~~~

Kini Hypnos kembali sendiri di dalam ruangan penuh buku itu. Kacamata beningnya kembali ia pakai. Buku di tangannya ia taruh di pangkuannya—dengan keadaan tertutup. Kedua tangannya tertopang oleh lengan kursinya kayu yang didudukinya. Sejenak, ia melemparkan pandangannya lurus keluar jendela disampingnya.

Kelam, gelap. Hanya itu pemandangan yang dapat ia lihat dari jendela perpustakaan pribadi Hades.

Namun, bukan itu alasan Hypnos menatap jauh keluar jendela. Bukan untuk melihat pemandangan umum di kerajaan dunia bawah, tapi pemikirannya melayang jauh pada sosok yang setia menemaninya sepanjang hidupnya.

Yang tetap menjadi halusinasi* di dalam pemikirannya.

Yang telah memberikannya 3 buah hati yang setia mengabdi padanya.

“Tuan Hypnos?” Seorang pemuda tiba-tiba saja masuk perpustakaan dan memanggil nama pria berambut kuning itu. Hypnos segera saja menoleh begitu mengenali suara sopran pemuda itu.

“Phantasos.” sebut Hypnos pada interuptor-nya yang ternyata salah satu pasukan mimpi—dan juga putra bungsunya.

“Ah, maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu Tuan ada disini. Maaf saya sudah mengganggu anda.” Phantasos segera menunduk hormat di depan Hypnos. Hypnos tersenyum simpul melihat gerak-gerik tubuh Phantasos.

“Tidak apa-apa. Aku juga baru selesai. Ngomong-ngomong..Phantasos,” Hypnos segera memanggil nama Phantasos sebelum pemuda berwajah cantik itu memiliki niat untuk keluar dari perpustakaan.

“Bisakah…kau kemari. Mendekat..padaku?” pinta Hypnos berusaha menahan air matanya yang mulai keluar. Meski ada tanda tanya besar di kepalanya, Phantasos mematuhi permintaan tuannya. Begitu jarak Phantasos dan Hypnos sudah mendekati ukuran sentimeter, Hypnos segera bangkit dan tangannya langsung melingkari tubuh Phantasos—memeluk specter bergelar ‘fantasi’ itu erat.

“Tu..tuan, apa yang anda lakukan?!” sontak Phantasos pun terkejut akan perilaku tuannya yang memeluknya se-erat ini dan juga….hangat?

“Sudah lama sekali,… aku ingin memeluk putraku…seperti ini.” Kalimat Hypnos yang lirih di telinga Phantasos, membuat Phantasos bertanya-tanya dalam hati.

Putra? Bukannya ia yang pasukan mimpi itu hanya specter bawahan Hypnos?

“Tuan…tuan, anda tidak apa-apa ‘kan?” Phanatasos tentu saja langsung menanyakan perilaku tuannya yang sangat ganjil padanya.

“Maafkan ayah..yang sudah memaksamu dan kakak-kakakmu…memakai surplice dan bertarung dengan para saint itu.” Kali ini air mata Hypnos benar-benar keluar dari mata kuning kosongnya—tidak memperdulikan pertanyaan Phantasos sebelumnya.

“Tuan, apa yang Tuan Hypnos bicarakan? Anda bilang bahwa anda ‘ayah’ saya, apa maksudnya itu?” Phantasos masih tidak mengerti segala yang sudah diucapkan Hypnos diiringi deru air mata. Akhirnya Hypnos melepaskan pelukannya dari Phantasos. Di tatapnya lekat-lekat pemuda berambut kuning gandum itu.

“Kamu benar-benar mewarisi rambut kuning milikku yang bercampur dengan rambut gandum Pasithea.” Phantasos sedikit terlonjak mendengar kalimat Hypnos. Pasithea?

“Tuan, bagaimana anda bisa kenal dengan ibu saya, Icelus dan Morpheus?” Hypnos tersenyum lega begitu Phantasos terpancing dengan kalimatnya barusan.

“Pasithea adalah istriku. Ibu dari kalian bertiga, wahai ‘3 saudara mimpi’, putra dari ‘tidur’ dan ‘halusinasi’.” Hypnos menerangkan sambil menghapus sisa-sisa air matanya.

Phantasos menatap tuannya bingung. Sepatah katapun tidak menuruti maunya untuk berkata-kata di depan Dewa Tidur itu. Ganjil, hatinya berkata.

“Lalu, jika benar anda adalah ayah saya, mengapa anda tidak mengatakannya sedari dulu?! Dan kenapa anda tidak bersama ibu waktu itu?” Sedikit paksaan, Phantasos berhasil juga menanyakan kepastian Hypnos yang tiba-tiba mengakui sebagai ayahnya.

“Ayah tidak bisa…” Hypnos hanya menjawab pertanyaan anak bungsunya singkat. Rasanya berat sekali mengungkit kenangan masa lalu.

“Kenapa?! Apa sebegitu kejamnya anda sebagai seorang ayah sampai hati meninggalkan ketiga buah hati dan istrinya?!” Phantasos malah berani memberi pertanyaan sekaligus pernyataan menantang pada salah satu specter tertinggi.

Hypnos menatapi wajah Phantasos sebentar. Mata yang persis jiplakannya itu seakan meminta jawaban atas kebenaran yang selama ini disembunyikan saudara kembar Thanatos itu.

“Phantasos, dengarkan ayah. Tuan Hades membutuhkan kehadiranku bersama Thanatos di sisi beliau.”

“Tapi, aku dan kakak-kakak lebih membutuhkan kehadiran ayah!!” Phantasos mulai dikuasai emosi—membuatnya kelepasan memanggil Hypnos dengan panggilan yang sudah lama dirindukan sang ‘ayah’.

“Ayah tidak tahu…perjuangan Morpheus yang..mencarikan kami..tempat tinggal.. setelah ibu juga turut kembali pada dua saudari-nya. Ayah tidak tahu perbuatan tercela..Icelus setelah makanan kami habis. Ayah tidak tahu..setiap malam..Morpheus selalu berusaha..menghiburku ketika aku menangis!!” Hypnos hanya dapat diam mendengar keluhan putra yang sudah ia tinggalkan berpuluh tahun.

Ya, hanya itu yang dapat ia lakukan di hadapan anak buah dan salah satu putranya yang berurai air mata.

“Apa Tuan Hades..lebih penting ketimbang kami..yang merupakan darah dagingmu sendiri? Apa ibu membuat..kesalahan sehingga..kamu meninggalkannya?”

Hypnos lagi-lagi hanya diam. Namun, garis mulutnya membuat seuntai senyuman.

“Ibumu tidak membuat kesalahan. Ibumu adalah wanita tercantik dan terbaik di dunia ini—ayah dan kamu tahu hal itu. Tapi, ayah juga merasa tidak bisa meninggalkan Tuan Hades yang diliputi kesedihan atas kehilangan Nyonya Persephone. Tuan Hades bagaikan sosok ayah yang belum pernah ayah dapat di dunia ini, Phantasos.” Hypnos akhirnya menjawab pertanyaan pemuda yang memakai surplice Dewa Fantasi itu.

“Kenapa kamu tidak membawa kami berempat..untuk tinggal bersamamu waktu itu?” Phantasos mengeluarkan pertanyaan tajam lainnya.

“Risikonya terlalu besar, Phantasos! Tuan Hades pasti akan langsung mengembalikanku ke kotak terlarang milik Pandora dan mengurung kalian serta di dalamnya!” Phantasos langsung tertunduk sambil menggigit bibir bagian bawahnya.

“Tapi, diam-diam ayah selalu mengawasimu dan kedua kakakmu. Ayah tahu posisi dan keadaan kalian yang hanya tinggal bertiga.”

“Ayah jangan bohong!! Bagaimana ayah bisa tahu kami sedang menderita sementara kamu bahagia bersama sosok ayah yang bisa kamu dapatkan?!” Phantasos berteriak lantang seiring titik-titik air mata yang semakin berjatuhan dari matanya. Hypnos diam sebentar sambil memperhatikan ekspresi anaknya yang nampak sekali sudah memupuk kebencian.

“Jangan menuduh ayahmu seperti itu!” Hypnos membalas pernyataan dari Phantasos yang dianggapnya tuduhan.

“..Ayah-lah yang sampai rela pergi dari dunia bawah dan mencari keberadaan kalian dan Pasithea! Setelah mengetahui dimana kalian tinggal—di gua dunia atas, aku tidak kembali ke dunia bawah. Tidak kembali memenuhi panggilan Tuan Hades. Aku bahkan rela kehilangan satu kacamata bacaku begitu Icelus mengambilnya dari kantungku.” Phantasos langsung tercengang mendengar baris kalimat terakhir Hypnos.

“..Ja..jadi, kacamata yang dicuri Icelus..itu adalah kacamatamu..?” Kalimat Phantasos bergetar tak menentu. Hypnos segera memasang senyuman kebapakannya.

“Iya, anakku.” Hypnos menjawabnya singkat.

“Setelah itu, kamu tahu kelanjutannya ‘kan?” Tanpa buang-buang waktu, setelah segalanya menjadi jelas, Phantasos langsung memeluk pria berambut kuning keemasan di depannya.

“A..yah.. Ayah..Ayah!” sebut Phantasos berulang kali menyebut panggilan yang diridukan dua specter Hades itu.

“Sshhh, masa’ specter Hades yang sudah memotong tangan Capricorn El Cid dengan sadisnya malah menangis seperti ini? Sudah-sudah.” Hypnos membelai lembut rambut panjang Phantasos sambil terus menenangkan Phantasos.

Masa-masa bahagia ini, tak akan pernah Hypnos lepaskan lagi.

~~~~~0000~~~~~

Hypnos duduk di kursi taman milik keluarga besar dunia bawah itu. Sembari menyeruput secangkir teh dan membaca buku di tangannya—kebiasaannya yang berulang-ulang.

“Ayah!!” Suara sopran Phantasos tiba-tiba meggerakan saraf pendengaran dan membuat Hypnos menoleh pada pergerakan anak bungsunya menuju tempatnya. Matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain yang berjalan dibelakang Phantasos—Morpheus yang jangkung dan berambut panjang dan Icelus yang berambut pendek dengan sepasang taring kecil yang muncul dari mulutnya.

“Ah, kalian. Tumben sekali kalian datang kemari?” tanya Hypnos begitu ketiga putranya sampai di tempatnya.

“Memang tidak boleh, ya?” Phantasos malah membalikkan pertanyaan sambil memasang tampang cemberut.

“Iya, iya. Ayah ‘kan hanya bercanda.” Hynos tersenyum jahil begitu melihat wajah cantik Phantasos yang cemberut.

“Ternyata ayah bisa bercanda juga, ya?” Icelus menimpali dan langsung memasang wajah seolah-olah tengah berpikir.

“Hus! Jangan begitu, Icelus!” Morpheus langsung memperingati adik tertuanya. Hypnos hanya tersenyum membalas pernyataan Icelus. Setelah ia memberitahu segala kebenarannya pada Phantasos, specter yang suka mengubah dirinya menjadi perempuan itu langsung memanggil kedua kakaknya itu dan ganti memberitahu kenyataan bahwa tuan yang mereka abdi selama bertahun-tahun adalah ayah mereka bertiga.

“Tidak apa-apa, Morpheus. Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Iris**?” Wajah Morpheus mendadak dipenuhi rona merah begitu sang ayah menyebut nama gadis yang di cintainya.

“Ah, Morpheus tersipu!!” seru Icelus sambil menunjuk wajah kakaknya.

“Berisik!!” desis Morpheus sambil membuang wajahnya.

“Hahahahaha, Morpheus tersipu~!!” Phantasos ikut menggoda wajah kakak tertuanya diiringi tawa yang keras. Morpheus mau tidak mau harus bisa menahan amarahnya untuk tidak menyerang kedua adiknya di hadapan ayahnya.

Hypnos tertawa kecil saat mendengar lelucon yang di lontarkan dua anak termudanya.

Ini benar-benar masa yang Dewa Tidur itu dambakan.

….

Dari kejauhan, Thanatos bersandar pada dinding bangunan dan melihat ke arah empat anggota keluarga ‘tidur’ itu.

“Kau tidak ikut mereka, Oneiros? Bukannya kau juga ‘mimpi’?” tanya Thanatos pada pemuda yang berdiri di seberangnya. Pemuda berambut gandum muda itu menggeleng.

“Untuk apa? Aku bukan siapa-siapa Hypnos dan ketiga anaknya ‘kan? Selain itu, mengapa bukan kau saja yang bergabung dengan mereka?” Onieros langsung mengeluarkan rentetan pertanyaan sebagai balasan pertanyaan pada Dewa Kematian itu.

Thanatos tersenyum sinis.

“Kau kira aku mau mengganggu kebahagiaan yang diinginkan adik kembarku? Lagipula, taman itu membuatku sakit.” kata Thanatos sambil mengalihkan pandangannya lagi pada keluarga Hypnos yang tengah berbahagia itu.

“Meski ‘sakit’ kau masih saja memandanginya ‘kan?” Oneiros tak kalah sinis dalam memberikan senyumnya. Thanatos hanya ber-‘cih’ ria saat kata-kata Oneiros memukul telaknya.

“Aku benci saat kau mengatakannya!” kata Thanatos sambil melipat kedua tangan di depan dadanya.

“Maafkan saya, wahai kematian yang agung. Jangan cabut nyawa saya sekarang. Saya ingin menunggu kebahagiaan kematian saya datang!” Oneiros meminta maaf dengan nada bercanda dan menggoda Thanatos.

“Oneiros, kata-katamu itu justru akan mempercepat kematianmu, dan jangan harap Nona Macaria*** akan bangun mendengar kata-katamu itu!!!” Emosi Thanatos yang sudah sampai batasnya—dan meledak setelah ada titik di akhir kalimat Oneiros. Oneiros malah terkikik geli, lalu berlari menjauhi kakaknya—mengantisipasi kemungkinan Thanatos akan mengambil nyawanya yang sebenarnya mustahil.

Thanatos hanya bisa menghela nafasnya kesal.

“Dasar anak kecil!” geramnya tak kalah kesal pula. Mata keabuannya yang kosong mengajaknya melihat pemandangan bahagia keluarga adik kembarnya yang sedang tertawa penuh kebahagiaan. Rasanya taman bunga cocok sekali menjadi panggung kebahagiaan keluarga yang menguasai alam tidur itu.

“Berbahagialah ‘tidur’ beserta para ‘mimpi’. Semoga ‘halusinasi’ di atas sana, juga turut merasakan kebahagiaan kalian di dunia kelam ini.”

Thanatos mengakhiri kalimatnya dengan titik mutlak, lalu memutar badannya. Memunggungi taman yang dulu sangat ia senangi bersama sang nona tercinta.

End: Berbahagialah, Tidur.
June 30th 2010

~~~~~0000~~~~~

A/N: Oke, fic kedua di fandom Saint Seiya Indo, tapi no gold saints. Apa-apaan ini?! –stress sendiri-. Seperti yang sudah dibilang, ide saya akan gold saints masih mampet –gelundungan-.
Bahkan ini fic aja nampaknya malah ngaco sendiri. Habis saya gemes sama tiga saudara mimpi yang merupakan anaknya Hypnos (di mitologi Yunani), padahal Hypnos saja masih muda begitu.
Oneiros tidak termasuk, karena kenyataannya Oneiros atau Oneiroi adalah saudara Thanatos dan Hypnos dari Nyx dan Erebus.

Perasaan dan masa lalu Hypnos beserta ketiga anaknya itu interpretasi saya saja, cuma perasaan Hypnos ke Pasithea yang bukan interpretasi saya, hehehehe.
Taman di akhir cerita juga saya karang sendiri <--parah. Apalagi ada selingan ngaco ThanatosMacaria.

*Arti dari nama Pasithea, ibu dari Morpheus, Icelus dan Phantasos.

**Istri dari Morpheus, Dewi warna.

***Dewi kebahagiaan kematian atau pemberkatan kehidupan di alam baka (panjang banget artinya, tapi kira-kira begitulah), putri dari Hades dan Persephone atau Heracles dan Persephone. Perasaan Thanatos pada Macaria di sini lagi-lagi cuma interpretasi kacau saya.

Sudah jadi sesi curhat aja nih. Keterangan di atas di ambil dari om Wikpedia dan mitologi Yunani.

Sampai jumpa di fic milik saya selanjutnya, dan berkenan-kah anda meberi kritik, saran bahkan flame untuk karya yang satu ini? ^^w

Rizu, sign out.

Sabtu, 19 Juni 2010

'Apollo' vs. 'Abel'

Bingung.
Yak, dua cowok itu--Apollo dan Abel (nama terpaksa disamarkan) sangat berharga dihati saya.
Rasanya akan sangat berat, apabila dihadapkan harus memilih satu diantara mereka.

Abel, cowok manis (?) yang sangat baik dan perhatian pada saya dan teman-teman dekatnya. Kaki-kakinya terkenal lincah di kancah panggung dance. Karena manis, wajahnya cenderung mengarah ke 'uke' #ditendang dan kalau tertawa pun tambah manis (aih~).
Walau sebelumnya saya sempat 'muna'-bilang saya tidak suka padanya, perasaan saya tiba-tiba 'menendang' saya karena kebaikannya yang sangat ekstrim dan musti mengakui, saya sudah terlanjur menyayanginya.

Apollo, cowok berwajah manis lainnya, namun lebih 'seme' ketimbang Abel-teman sekelas saya. Kalau untuk cowok satu ini, dia ahli dalam ilmu hitung, bidang musik, dan instrumen 'trump' (yak, sangat blak-blakan sekali). Nama 'Apollo'-sebutan saya untuknya pun berasal dari nama dewa matahari Yunani yang juga dikenal sebagai dewa musik dengan lyra-harpa sebagai simbolnya.
Perasaan saya kemudian berkembang lebih dari kekaguman biasa. Saya tulus mencintainya.

Sejauh ini, hubungan saya dengan Abel baik-baik saja, bahkan saya merasa lebih dekat dengannya. Namun, tidak dengan hubungan saya dengan Apollo yang sangat saya cintai :(.
Dia lebih sering menghindari saya dan nampaknya, memandang saya 'jijik'.
Padahal, hati ini sungguh mencintainya.

Sekali lagi, saya bingung akan melabuhkan perasaan saya.
Saya menyayangi Abel karena kebaikannya pada saya dan selalu ada untuk saya, sedangkan hati ini juga mencintai Apollo yang bermula dari kekaguman semata ditambah unsur lain yang dirahasiakan.

Minggu, 13 Juni 2010

Hana no Kusari

Saint Seiya: The Lost Canvas

ED Song

Hana no Kusari

Nakushita iro wa tooi hi no kioku
Furui e no gu no hako sotto agereba
Osanai tomo ga itsumo ita yo ne.
Kawaru koto nai ano egao futari de yume wo egaita.
Kokoro no kyanbasu mada iro asenai
Kimi no te to boku no te wo kasaneta hi no nukumori
Hito wa naze itoshi sa to nikushimi wo awasemotte itsumo ikiru no darou
Yorokobi to kanashimi wo karama setsumuida seishun no towa no kizuna hana no kusari yo

Sugisatta uta wa tooi hi no kioku
Chirabatta kotonoha biroiatsume memokuramu youna toki wo sugoshita
Soba ni itsumo kimi ga ita ne
Futari de oto wo kasaneta mune no gosenfu wa towa ni kienai
Futatsu no koe ga hibikiau kokoro no ha-moni-
Kami wa naze meguriai wakareyuku sadame wo hito ni ataeta no darou
Afurederu no kono namida kawa to nari hana no hitsugi nose nagarete iku
Towa no merodi-

Hito wa naze itoshi sa to nikushimi wo awase motte itsumo ikiru no darou
Yokorobi to kanashimi wo karamasetsumuida seishun no towa no kizuna hana no kusari yo
Kami saemo kirenai tamashii no hana no kusari

Translate:

The lost color is memories of far away days.
When the old paint box is gently opened,
The childhood friend is always there! Haven't changed, that smile.
The canvas of the heart Where both our dreams are drawn has yet to lost its color,
Warmth created by your hand put on mine.
Why do people always live with love and hate at the same time?
The bonds of eternal youth Spun by joy and sadness, The Flower Chain!

The song of the past is memory of far away days.
Had days of gathering dispersed words with disoriented eyes,
You were always there!
The score of the chest (heart) with sounds created by the both of us will never disappear.
Both of our voices sound out together the harmony of the heart.
Why does God give people the fate of encountering and separating with each other?
These overflowing tears become a river and coffins of flowers will flow on it,
The melody of forever.

Why do people always live with love and hate at the same time?
The bonds of eternal youth Spun by joy and sadness, The Flower Chain!
The flower chain of the soul that even God can't cut through.

Sabtu, 12 Juni 2010

Gemini

Orang-orang pasti sudah umur dengan sepatah kata itu.
Konstelasi yang tersusun dari beberapa gugus bintang dan dipimpin Pollux sebagai gugus bintang paling terang--yang menjadi sepasang anak kembar; tetangga daripada Taurus, Cancer, Auriga, Lynx, Canis Mayor dan Monoceros.

Sebagai sebuah zodiak yang berlandaskan pada mitologi Yunani tentang Pollux dan Castor--dua anak kembar Zeus dan Leda.

Dalam ilmu tarot--untuk Major Arcana, Gemini dikaitkan pada The Lovers, no 6.
Sepasang kekasih.

Gemini adalah bahasa latin untuk kembar, dan memiliki lambang kembar.
Dua orang yang memiliki karakteristik serupa, baik karakteristik fisik ataupun jiwa.
Ada yang bilang bahwa jiwa 'dua orang kembar' saling terhubung dan terikat kuat.
Hal ini mungkin memang benar, bila menilik mitos Pollux dan Castor.
Saat Castor mati, Pollux merasa sendiri dan sepi dan akhirnya ikut menyusul belahan pinangannya.

Saya, terlahir pada bulan Juni dan masih tergolong dalam kelompok zodiak Gemini.
Kata orang tua, saya juga memiliki seorang kakak perempuan yang lahir pada bulan Juni, dengan tanggal yang tidak begitu jauh jaraknya dan terpaut 4 tahun.

Dan kata mereka lagi, wajah saya mirip dengan almarhumah kakak. Nama kami juga memiliki makna yang sama, dan saya selalu menangis bila diceritakan kembali kisah tentang almarumah kakak.
Seolah ada misteri yang tersembunyi didalamnya.
Apa ini perasaan seorang 'Gemini'?

6 dan 9 Juni, Rahayu dan Indah.
Misteri dari Allah yang hanya milik-Nya semata.

Kamis, 20 Mei 2010

Blessed Death

*Blessed Death

ThanatosMacaria
'Death' Macaria
rated T

oOo

Pria muda itu hanya duduk termangu.
Sembari memainkan harpa kecilnya, ia menatap kosong taman bunga milik Nyonya besar-nya di kerajaan dunia bawah itu.

Dirinya merindukan sosok yang dicintainya.
Sosok cantik yang menyukai alunan irama dari harpa abu-abu miliknya.
Sosok yang tidak tega melihat kematian-terbalik dengan gelarnya.

Tak terasa, air mata pria muda itu menetes.
Dirinya sangat merindukan sosok jelita putri Tuan dan Nyonya yang di abdinya.

"Thanatos." Sebuah suara menembus gendang telinganya. Pemuda berambut keabuan itu menyudahi permainan harpanya dan menoleh ke suara itu.

Sosok pria agung dengan rambut hitam legam dan mata seindah batu emerald berjubah indah berjalan dan tersenyum pada pria muda itu.

"Tuan..ku Hades." kata sang pemilik harpa-Thanatos mengenali sosok agung itu.

"Sedang apa kau disini, anakku?" tanya penguasa dunia bawah itu. Thanatos menunduk, tak ingin berbicara jujur pada Tuan-nya yang mengangkatnya.

"Ah, tidak apa kalau kau tidak mau cerita. Tapi, hari ini adalah hari 'itu'. Apa kau tidak mau menemui'nya'?" Hades bertanya

Thanatos menggeleng.
"Saya akan tambah menderita melihat sosok cantik'nya' yang tertidur itu."

"Tapi, kau pasti lebih menderita karena rasa rindu yang hebat pada putriku."
Thanatos terkejut akan kata-kata Tuannya yang memang mengena pada kesedihannya.

"Jadi, tunggu apalagi? Hapus air matamu, dan temui putriku. Mumpung Zagreus dan Melinoe sedang mengunjungi neneknya." Hades tersenyum bijak pada putra angkatnya.

Thanatos membalas senyuman suami dari Persephone itu. Dirinya bangkit dari posisinya dan berlari pelan melewati Hades yang masih berdiri tegak.

"Pergi, temui Macaria yang mencintaimu." Sepatah kata kebenaran yang tak di ketahui Thanatos diucapkan ayah dari putri yang mencintai Dewa kematian itu.

~o~

Dengan sekuntum mawar putih di tangannya, Thanatos berjalan menuju sebuah peti yang terletak di tengah-tengah taman dekat sungai Styx.

"Maaf saya terlambat, Nona." kata Thanatos pada sosok yang terbaring di dalam peti kaca itu.

Sosok gadis yang secantik ratu dunia bawah.
Sosok yang membawa berkah pada setiap kematian, walau gadis cantik itu membencinya.

"Sudah hampir setahun, sejak anda 'tidur'. Apa anda tidak bosan berbaring terus?"
Pertanyaan Thanatos tentu saja tidak terjawab.

"Nona Macaria." Thanatos membuka kaca peti Nonanya dan menaruh mawar yang warnanya kontras dengan mawar hitam sebagai alas tidur gadis cantik itu.

Mata Dewa kematian tampan itu kembali memanas. Rasanya air matanya akan tumpah lagi.

"Apa ini semua... salah hamba yang menceritakan kebenaran kematian? Kenapa anda yang meminta... Hypnos membuat anda tidur seperti ini, bukannya...hamba?!" Thanatos memegang tangan langsing gadis yang dicintainya.

Tak terasa, air mata mengaliri pipinya. Rambut keabuannya jatuh ke bahunya. Bibir bagian bawahnya tergigit.

Menyesal.

"Nona Macaria, saya mencintaimu."
Di tengah isakannya, kata pengakuannya yang belum sempat terucap keluar.

Tanpa disadari, seekor kupu-kupu putih mendarat di bahunya.
Sayapnya membelai lembut pipinya.

Thanatos, yang memang menyukai kupu-kupu tersenyum pada kupu-kupu cantik itu.

"Apa mungkin...kupu-kupu ini adalah jawabanmu, Nona?"

Kupu-kupu itu membelai pipi pria muda berambut keabuan itu, membuat Thanatos tersenyum bahagia.

"Terima kasih." Thanatos lalu mencium punggung tangan Macaria lembut.

"Semoga berkah kematianmu melekat padaku, Tuan putri-ku tercinta."

oOo

A/N: Kyaaa~ akhirnya jadi juga ThanatosMacaria romance~!
Saya sangat bahagia fic ini selesai, walau sempat bermasalah sama opmin bego~!
Hades, Thanatos dan Macaria punya mitologi Yunani, tapi sosok Hades dan Thanatos dari Saint Seiya dan Saint Seiya: The Lost Canvas.
Sosok Macaria di otak saya! :3, XD


"For Lady Macaria whom i loved. Macaria.." Thanatos-edited

Kamis, 06 Mei 2010

Not the Last but the Beginning

A/N: 'Mati.'
Alasan itulah yang membuat saya menyukai Thanatos/Mors, Hades/Pluto, Osiris bahkan malaikat Izrail (?) yang berhubungan dengan kematian.
Inilah fic dambaan saya.

For Thanatos,

Death--XIII. It wasn't the end, but the beginning for new 'creature'.



oOo
*Not the Last but the Beginning

Thanatos
Rated T

oOo

Thanatos POV

...Akulah kematian.
Akulah salah satu dari takdir yang PASTI akan di alami kalian.
Akulah yang kalian bilang akhir dari segalanya.

...Akulah dalang dari tangisan kalian.
Akulah yang mencabut nyawa kalian mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki.

...Akulah 'hantu' yang selalu menyertai kalian.
Akulah yang membuat mereka berpikir "Tidak punya jalan lagi" selain aku.

~o~

Ya, aku yang menyebabkan orang-orang memotong urat nadinya dengan benda tajam itu.
Aku yang membuat orang-orang menggantung lehernya dengan tambang itu.
Aku yang membuat mata pisau dan peluru menembus organ orang-orang itu sampai cairan merah kental itu keluar dan memendam tubuh mereka.

~o~

Aku di ibaratkan seperti kupu-kupu.
Sayap yang indah, terbalik dengan tubuh yang mengerikan.
Aku seperti itu.

Aku mengerikan, namun juga indah--dalam arti yang hanya dapat di mengerti oleh mereka yang paham betul akanku.
Aku pun selalu menganggap diriku 'indah'.
'Kematian itu indah'
Itulah prinsipku.

Walau banyak yang berusaha menghindariku, aku akan selalu mengejarnya.
Karena akulah kematian.

End of Thanatos POV

oOo

'Kematian itu indah', sebenarnya quote favorit saya.
Silahkan menganggap saya sinting atau psikopat menyukai kematian.

Thanatos milik mitologi Yunani, tapi sosoknya dari Saint Seiya dan Saint Seiya: The Lost Canvas milik Kurumada-sensei dan Teshirogi-sensei.

Hanya Karena Musik

Hanya karena musik, hati dan pikiran saya merasa tenang.
Hanya karena musik, kaki dan tangan bergerak tanpa sadar.
Hanya karena musik, saya tidak merasa sendiri.
Hanya karena musik, ekspresi dan emosi negatif saya menjadi kacau--kadang sedih, kadang senang, kadang marah dan lain-lain.
Hanya karena musik, saya terhanyut oleh irama dan melodinya.
Hanya karena musik, perasaan saya tidak ingin di ganggu.
Hanya karena musik, mata saya bisa menjadi kosong.
Hanya karena musik, saya bisa tersenyum bahagia walau yang memainkannya bukan orang yang saya senangi atau sayangi.
Dan karena musik itu sendiri, saya bisa jatuh cinta. :)

Kamis, 29 April 2010

About Me




















(Foto di dufan, 28 November 2009)
Yak, selamat datang di blog saya yang tercinta dan enggak penting ini.
Nama saya Indah Permata Sari, anak kedua -ralat- pertama dari empat -ralat- tiga bersaudara.
Saya memiliki seorang kakak perempuan yang sudah meninggal, namaya Rahayu Sari. Walau almh. mbak Ayu sudah meninggal, entah mengapa saya masih menganggap dia adalah anak pertama yang diinginkan orang tua.
Kata ibu, wajah bayi almh. mbak Ayu mirip dengan wajahku, hanya saja dia sedikit putih (?) ketimbang saya. Tanggal, bulan lahir kami juga berdekatan, 6 (mbak Ayu) dan 9 (saya) Juni--bedanya kami hanya 4 tahun.
Selain itu, ayah yang memberikanku nama yang maknanya serupa dengan almh. kakak
-Rahayu; Ayu: Cantik.
-Indah: Cantik
Ah, sudahlah. Itu hanya sedikit dari masa lalu saya. Saya bisa sampai menangis mengingatnya.

Di atas adalah foto saya bersama adik laki-laki saya yang hanya berbeda satu tahun. Saya yang memakai jaket hitam (enggak penting)

Dan setelah mengenal sejarah saya, kini data lengkap saya!

Personal
:
Lahir pada bulan Juni, tanggal 9 dan pada tahun 1994. Berdomisili di Bekasi Timur dan (sangat) berkeinginana sekali untuk pindah ke Jogjakarta (I love you, historical place! ^o^), untuk menempuh ilmu selanjutnya di Universitas Gadjah Mada (amiiin) dan hidup bahagia (emang enggak pernah bahagia?). Orang-orang bilang, saya cukup aneh dan susah untuk berubah, tertutup, suka lari dari masalah dan tidak bertanggung jawab. Ya, untuk ini saya cukup mengakuinya. Terkadang, saya senang menyendiri dan selalu merasa tidak dibutuhkan (jujur lagi). Tapi, oleh orang tua, adik-adik dan saudara-saudara, saya cukup baik dan rela melakukan apapun.

Kesukaan:
Lebih suka buaya ketimbang kelinci atau rusa karena buaya adalah hewan zaman Dinosaurus yang masih hidup--sama seperti badak dan kulit daging tebalnya terlihat sangat kuat. Lebih suka baca informasi atau buku tentang mitologi, kontelasi, sejarah, oto dan biografi orang lain, dan komik(?) ketimbang baca buku pelajaran. Lebih suka warna hitam ketimbang warna cerah, tapi phobia kegelapan. Lebih suka nulis cerpen, novel ketimbang nulis karya tulis. Lebih suka pergi ke museum atau tempat bersejarah lain ketimbang mall atau tempat perbelanjaan. Lebih suka sendirian kalau enggak mood. Lebih suka cowok alim yang bisa ngertiin saya daripada punya tampang dan suka hura-hura tapi gak peduli sama saya. Lebih ingin gesek dawai instrumen cello ketimbang neken tuts piano atau metik senar gitar. Lebih suka musik slow daripada hard. Lebih suka film adventure, friendship dan mecha ketimbang romance.

Ah, rasanya sudah cukup perkenalan dari saya.
Walaupun terlambat, bersiaplah untuk mengarungi blog saya yang penuh dengan hal yang mungkin tidak dapat anda bayangkan.

Τα λέμε, αντίο!
じゃあね!

Selasa, 27 April 2010

Crack Pairing Ep. 2

Woalah, kenapa jadi bersambung begini sih?
Tapi, wis kadung lah (keluar lagi logat bahasa Jawa).

Setelah Brera dengan Sheryl dan Riku dengan Suzuna, masih ada crack pairing lain.

Pairing ketiga adalah Raimon 'Monta' Tarou dengan Wakana.
Yak, silahkan hajar saya, para pencinta Eyeshield 21 dimanapun anda berada. Saya merasa sudah sinting menjadikan mereka pasangan. Namun, sajauh mata ini memandang, ternyata mereka cocok juga.
Bertubuh mungil -coret-, pendek. Hanya satu itu alasan yang (cukup) pasti.
Lagipula, seiring berjalannya cerita, sosok Monta mulai cukup keren.
Dan Wakana cukup imut dan cantik.

Memang sih, kebanyakan orang pair-in Wakana sama Shin, tapi selera saya lain.
MontaWaka, salah satu super crack pairing yang pernah saya bayangkan.

Dan ditambah KakeiMamo, wahahaha, lengkaplah sudah pair paling tidak memungkinkan.
Ah, sudah banyak ide-ide di kepala saya tentang dua pair ini, salah satunya yang KakeiMamo:
-Kakei dan Mamori adalah sahabat sejak kecil, walau berbeda status. Kakei adalah pelayan, perisai, tombak, guru dan seorang kakak bagi Mamori. Kakei sendiri sudah memiliki rasa cinta sejak menjadi pelayan sang nona muda.
Namun, persahabatan mereka putus begitu Hiruma dan Mamori saling jatuh cinta. Kakei pun merelakan sang nona hidup bersama Hiruma.
Hiruma dan Mamori nikah, lalu lahirlah Riku dan Sena. Perawakan Riku mirip dengan Hiruma, sementara Sena kloning Mamori.
Kakei ketemu sama Sena, yang mengingatkannya pada Mamori, dan sudah menganggap Sena anak sendiri, di samping Suzuna, putri semata wayangnya.
Begitu Hiruma meninggal (?), Kakei meminta Mamori untuk kembali padanya, bersama Sena. Mamori yang pikirannya buntu langsung mengiyakan, meski htinya khawatir pada Riku yang tiba-tiba menghilang paska kematian ayahnya.

Yang MontaWaka:
-Monta bosan terus menjomblo di usia 19 tahunnya, sementara Suzuna dan Sena sudah bertunangan, walau Riku menerimanya uring-uringan. Segala cara sudah ia coba demi mendapatkan gadis impian setelah patah hati dari Mamori.
Tak sengaja, ia bertemu dengan mantan manajer tim Ojo, Wakana Koharu. Pertemuan mereka pun bisa dibilang cukup 'indah' karena, Monta berhasil menangkap tubuh manajer mungil itu yang jatuh dari pohon. Dan anehnya, sejak saat itu, Wakana selalu tersipu malu melihat Monta, walau Monta sendiri hanya bersikap stay cool. Tidak diketahui Monta, Wakana ternyata jatuh cinta pada pandangan pertama padanya!

Aneh kah? Gaje-kah?
Eyeshield 21 memang selalu dapat membuatku pair ini, pair itu.

Bersambung ke chappie 3!

Minggu, 25 April 2010

Jatuh...apaan?

Sekalinya jatuh cinta sama orang, mata saya akan terus tertuju padanya, begitu juga hati saya. Dan saya tidak akan pernah mau melepaskan cowok itu, setidaknya sampai perasaan saya tersampaikan.

Tapi bukan melalui cicitan 'cie-cie'.
Itu malah semakin membuat illfeel. Terlebih lagi, kalau cowok itu tidak memiliki perasaan yang sama.
Cowok itu malah semakin illfeel, dan alhasil jarak yang sudah susah payah saya perkecil malah merenggang lagi.

Ah, jadi curhat enggak penting begini 'kan?
Rasanya, saya enggak bisa jatuh cinta lagi, sampai benar-benar ada cowok yang bisa ngertiin pribadi saya, seperti kakak-kakak saya, bisa sayang sama saya seperti keluarga saya, bisa duet sama saya ngelawan penjahat (?)
Hahahaha

Ah, sudahlah.
Karena kita remaja yang labil, jatuh cinta setiap pandangan pertama itu boleh-boleh saja kan?
Asal jangan gonta-ganti pas udah jadian!

Kamis, 22 April 2010

Toki (Time)

*Time

Cronus
No pairing!

rated K+

oOo

Tik..tok..
Tik..tok..
Tik..tok..
Si panjang, bersama si pendek saling mengejar, memutari bentuk dengan sudut putaran penuh.

365 lebih seperempat hari.

24 jam dalam sehari.

60 menit dan 60 detik dalam jamnya.

Bisa dihitung bukan, berapa banyak si panjang dan si pendek berputar?

~o~

Tersebutlah, raja waktu yang mewakili tanah, di ufuk barat, bertetanggaan dengan romawi.

Cronus namanya.
Lahir sebagai yang terbungsu dari 12 bersaudara Titan tidak membuatnya gampang mengalah.

Bahkan, ia sampai mengkhianati sang ayah, sang raja langit--dan menjadi raja yang baru.

Sang waktu lalu menikahi kakaknya, dan lahir 6 anak.
3 putri yang lahir terlebih dahulu, lalu 3 putra.

~o~

Sebagai sang waktu, Cronus tahu, suatu hari satu dari anaknya akan merebut tahtanya sebagai raja langit dan raja para Titan.

Tak kenal ampun, Cronus menelan satu persatu putra-putrinya.
Tanpa sepengetahuan sang istri tentu saja.

Begitu Zeus, anak terakhir sudah lahir, Cronus lengah karena Rhea, sang ratu langit menyerahkan si bungsu pada Amalthea.

~o~

Tahun demi tahun berlalu.
Zeus yang sudah tumbuh besar siap melawan ayahnya untuk menolong kelima kakaknya.
Hades dan Poseidon, yang pertama ia keluarkan, menolong sang halilintar cilik melawan sang ayah.

Cronus yang serakah dan tamak akhirnya berakhir dengan kematiannya, penyelamatan Zeus terhadap kakaknya dan gelar raja langitnya pindah ke tangan si bungsu.

Hei Cronus, seharusnya kau-sang waktu lebih tahu, generasi akan berganti seiring berjalannya 'waktu'.

Ya, mungkin Uranus akan menasihatinya lebih jelas tentang waktu pada Cronus di Tartarus, daerah kuasa Hades.

~o~

Zeus telah menjadi raja-walau dia yang paling bungsu. Daerah kuasanya adalah langit dan Olympus. Poseidon, kakak laki-laki keduanya mengemban tugas sebagai penguasa laut sementara Hades, si sulung dari tiga anak laki-laki sang waktu menjaga dunia bawah--neraka bagi penghuni baru.

~o~

Tik..tok..
Tik..tok..
Tik..tok..
Nah, waktu masih berjalan.
Menantikan pergantian generasi dan perubahan di 'Terra Matter' ini.
Siapakah yang berani melawan arus waktu atau bahkan...
Menghentikannya?

oOo

Kazu~! Maaf astrofic challange-mu belum kupenuhi DX -nangis gelundungan-
Malah muncul fic abal ini X( /di tabok/.
Seperti biasa, di ambil dari mitologi Yunani!
Cronus delele bukan punya saya!
Tapi... Kalau boleh, saya ambil Thanatos! -nemplok, di tusuk-
XDD

Minggu, 18 April 2010

Anata ga Suki. Anata wa Hitotsu. (You're my Love. Only You)

*You're my Love. Only You.

ZeusHera
rated: K+/T?

oOo

Raja para dewa. Begitulah sebutannya.
Penguasa langit, dan halilintar.
Tak ayal Zeus bisa menjadi raja dan yang terkuat diantara kakak-kakaknya.

Mengalahkan sang ayah, penguasa waktu yang hampir melahapnya dan kelima kakaknya, kalau saja ia dan Rhea tidak menolong Hera, Demeter, Hestia, Hades dan Poseidon.
Sang halilintar yang berhasil mengalahkan sang waktu.

Setelah itu, ia menikahi Hera, kakak tertuanya. Dari Hera-lah, lahir dewa perang tampan yang haus darah, dewa ahli besi yang dapat membuat besi terkuat tak terpatahkan, dewi kelahiran, dewi perang yang agresif dan dewi masa muda.

Namun, bukan namanya seorang 'raja segala dewa' kalau hanya memperistri seorang wanita.
Ya, Zeus adalah raja, dan seluruh wanita di Olympus, dan di bumi harus tunduk padanya.

Dari Metis, seorang dewi pendidikan dan kearifan, lahir putri kesayangannya yang bertentangan dengan putra sulungnya.

Dari Dione, dewi yang terbilang cukup cantik, lahir dewi cantik yang bermain hati dengan suaminya, adik sang pujaan dewi cinta ini.

Dari Leto di pulau tak bernama dan terpencil, dua cahaya baru pemegang busur panah emas dan perak dan perwujudan baru dari Helios dan Selene lahir.

Dari Demeter, kakaknya dan juga dewi pecinta alam, lahir dewi yang kecantikannya tidak kalah dari kakaknya--karena kepolosannya. Bahkan Hades, kakak laki-laki sulungnya mampu dimabuk cinta karena dewi ini.

Dari Maia, lahir seorang dewa yang setia pada dirinya dan rela bolak-balik hanya untuk mengantar pesan dari sang ayah.

Dari Semele, lahir dewa yang berparas cantik. Anggur merah selalu di tangannya. Dan diyakini, ia akan ditemukan mabuk suatu hari. Sang dewa anggur merah ini juga sering dikaitkan sebagai "Zeus Dunia Bawah".

Dari seorang manusia bernama Alcmene, seorang pahlawan di bumi lahir. Bahkan kisah kepahlawanannya melebihi rekor kakak tertuanya.

Dari Leda, 2 telur besar menetas-melahirkan si kembar yang saling mengisi, dan dua gadis lain yang mempunyai kisah mereka sendiri.

Dan wanita-wanita lain yang terpikat dan dipikat Zeus.

~~~

Namun, walau Zeus menikahi banyak wanita, hatinya tetap untuk Hera, dewi pernikahan dan kewanitaan.
Istri yang benar-benar di 'nikahi'nya adalah Hera.

Dan Zeus yakin, Hera masih bertahan padanya karena masih ada setitik cinta di balik kecemburuannya.

Sayang, Zeus tidak punya kesempatan menjelaskan rasa cinta pada sang ratu yang setia.

oOo

Yay! ZeusHera! XD
Saya yakin, Zeus playboy dan Hera yang pencemburu masih menyimpan cinta satu sama lain. XD

Jumat, 16 April 2010

For the First Time

Bleach ©Tite Kubo
For the First Time ©Rizu Auxe09

Warning: AU. OOC? Crackpair! Don’t like? Don’t read!!

Chara: Aizen Sousuke, Unohana Retsu

For Bleach Vivaration Festival

Summary: Ini adalah kali pertama seorang gadis yang buta tentang cinta langsung melekat pada cinta pandangan pertamanya. For Vivaration Festival! Crackpair!

~~~~~0000~~~~~

For the First Time

Seireitei Senior High School”. Semua orang tahu kalau gedung besar dengan papan nama dimana empat kata itu terpampang adalah sekolah menengah atas. Sepintas tentang sekolah swasta Seireitei ini. Didirikan oleh yayasan Seireitei yang dimiliki Yamamoto Genryuusai Shigekuni. Terdiri dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah lanjut tingkat atas yang kini dikenal dengan nama keren—sekolah menengah atas. Tidak hanya sekolah yang di miliki Yamamoto. Rumah sakit besar dengan nama sama juga merupakan asetnya. Yamamoto memiliki dua orang anak—putra dan putri. Si sulung bernama Juushiro, Yamamoto Juushiro dan si bungsu bernama Yamamoto Retsu.

Retsu, si gadis yang sudah berusia 17 tahun adalah salah satu siswi teladan di sekolahnya—SMA Seireitei milik ayahnya. Bukan karena sang ayah yang notabene adalah pemilik yayasan, ia di kenal sebagai siswi teladan. Namun, berkat ketekunan luar biasa dari gadis yang selalu mengepang rambutnya itu, namanya melambung sebagai siswi teladan.

Selain jabatan siswi teladan yang di sandangnya, sifat Retsu yang lembut dan penyabar di dukung wajah cantik penuh aura keibuan membuat gadis yang bercita-cita sebagai dokter ini populer di kalangan pemuda-pemuda sekolahnya. Namun sayangnya, para pemuda yang menyatakan perasaannya harus menerima pahitnya di tolak oleh pujaan hati. Satu-satunya laki-laki yang di pedulikannya dan mendapat perhatian penuh adalah sang kakak yang mengidap penyakit turunan ibunya. Sebaliknya, Juushiro juga sangat overprotektif pada adik semata wayangnya—bahkan menjurus ke arah sister complex.

“Retsu, kalau laki-laki itu mengganggumu lagi, bilang saja pada kakak! Kakak akan memberinya pelajaran!” kata Juushiro sambil menyiapkan kepalan tangannya meski ia tengah berbaring di tempat tidur.

“Aduh kakak ini, Shinji-kun ‘kan tidak jahat. Dia hanya mengantar aku pulang, kok,” kata Retsu berusaha menenangkan kakaknya, takut-takut penyakitnya kambuh lagi. Mendengarnya, Juushiro hanya mendengus pelan.

“Aku tetap saja tidak suka kamu dekat dengan laki-laki itu, Retsu.” Retsu tersenyum geli mendengarnya, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.

“Kakakku sayang, aku dan Shinji-kun cuma teman, oke? Lagipula, Shinji-kun memendam perasaan pada Hiyori-chan kelas 3-D, kok.” ungkap Retsu seadanya, membuat Hiyori dan Shinji bersin-bersin dalam waktu yang bersamaan nun jauh di luar kediaman Yamamoto.

“Yang benar, tuh?” tanya Juushiro tidak menunjukkan ketidak percayaan pada satu-satunya anggota perempuan di dalam keluarganya. Retsu menghela nafas dalam.

“Iya, kak. Kenapa kakak enggak percaya sama adiknya sendiri, sih?’ Kesabaran Retsu tinggal sedikit rupanya. Juushiro tersenyum kecil, sambil membelai rambut Retsu yang duduk di atas kursi.

“Maafkan kakak, ya. Kakak hanya ingin kamu berhasil kelak, tidak seperti kakak yang kini hanya berbaring di tempat tidur.” Sepotong kalimat di utarakan Juushiro sambil tersenyum lemah. Retsu mengangguk.

“Tenang saja, kak. Aku juga belum tertarik dengan laki-laki lain selain kakak dan ayah, kok. Nah, sekarang kakak istirahat lagi saja, ya. Nanti Retsu buatkan teh hijau hangat untuk kakak.” kata Retsu sembari membenarkan selimut Juushiro yang sedikit berantakan.

“Ah~, terima kasih ya, Retsu. Maaf kakak selalu menyusahkanmu.” Tampak sedikit ekspresi bersalah di wajah Juushiro yang tirus diikuti tatapan sayu dari kedua matanya yang sipit. Retsu hanya bisa tersenyum—khas dari pribadinya sambil mengangguk.

“Tidak apa-apa kok, kak. Aku malah senang bisa membantu kakak. Ya sudah, selamat beristirahat saja, ya” kata gadis berambut hitam pekat itu cepat, namun dengan bahasa yang lembut. Secepat perkataannya, Retsu pun menghilang dari balik pintu ebony putih—dari pandangan Juushiro yang sekarang hanya bisa tertawa kecil.

~~~~~0000~~~~~

“Selamat pagi, Lisa!” sapa Retsu pada seorang gadis berkacamata yang tampak sedang asyik membaca bukunya.

“Ah, selamat pagi, kak Retsu!” Lisa yang menyadari suara lembut Retsu yang dipanggilnya ‘kakak’ menyempatkan waktu mengalihkan pandangannya dari buku fisika di tangannya untuk menyapa gadis bermata hitam malam itu.

“Lagi-lagi memanggilku ‘kakak’. Kita ‘kan seumuran Lisa.” kata Retsu sambil tersenyum. Lisa hanya mengusap bagian belakangnya dan tertawa kikuk. Untungnya, Retsu orang yang terlalu sabar memberitahu gadis berkepang—sama sepertinya yang ngeyel.

“Eh, kak Retsu.” Panggil Lisa pada Retsu yang kini duduk di kursi sebelahnya.

“Hmm? Ada apa?” Retsu menoleh pada Lisa yang tiba-tiba mengganti topik.

“Kenapa kak Retsu selalu datang hampir terlambat? Kamu kesiangan ya?” Lisa melontarkan pertanyaan yang mustahil kepada Retsu yang selalu bangun pukul 5 pagi. Retsu menggeleng pelan.

“Aku harus membuat sarapan untuk ayah dan kakak dulu. Setelah itu, aku harus memberi obat pada kakak.” Lisa tertegun mendengar cerita sahabat yang ia segani itu. Bagaimana tidak? Aktivitas pagi harinya berbeda dengan Retsu yang harus mengurus rumah dulu. Kalau Retsu membuat sarapan untuk keluarga, Lisa masih tidur, sementara sarapannya di buatkan oleh ayahnya.

“Kau benar-benar gadis sempurna, kak Retsu. Sudah cantik, pintar, pengertian, pintar masak, sabar, dan dermawan. Wah, itu sih masih sebagian kecil dari kelebihanmu. Tak ayal, cowok-cowok mengincarmu.” Mendengar Lisa yang mengatakan apa adanya, Retsu hanya tertawa kecil.

“Ah, kamu juga cantik, kok. Selain itu, kamu juga enerjik, pintar berdebat, modis dan gadis yang tetap pendiriannya, tidak sepertiku.” Retsu tak mau kalah mengatakan kelebihan yang di miliki Lisa—yang tak di milikinya tentu saja. Lisa hanya mendengus pelan.

“Tapi, aku tak populer sepertimu, kak.” Elak Lisa sembari menutup buku fisika miliknya. Retsu diam.

“Selain itu, kenapa kak Retsu tidak mau menerima hati cowok-cowok yang mengutarakan perasaannya? Aku dengar, banyak yang kecewa padamu, lo!” sambung Lisa pada topik lain. Retsu diam membisu.

“Aku sendiri juga sempat kecewa pada kak Retsu lo.” Lisa menambahkan beberapa potongan kalimat sederhana—ungkapan perasaannya, namun dengan bahasa yang halus. Retsu hanya memandangi sahabatnya dengan ekspresi tak tentu.

“Aku takut,” jeda sebentar sebelum Retsu melanjutkan.

“Ayah dan kakakku mengusir dan menghardik mereka. Apalagi, aku ingat janjiku pada kak Juushirou untuk mengejar impian dan melupakan tentang lelaki.” Lisa mencerna baik-baik tiap-tiap huruf dan lafal yang keluar dari lisan si bungsu keluarga Yamamoto.

“Tapi sepertinya, mereka serius padamu, kak. Dan rata-rata yang naksir padamu adalah siswa yang terkenal akan prestasi akademiknya di sekolah. Bukan cowok sembarangan macam Shinji atau Kensei.” Baris kalimat Lisa yang terakhir mampu membuat Kensei yang berada di kamar mandi dan Shinji yang tengah menjahili Hiyori di kelas—dalih curi-curi perhatian, bersin berjama’ah. Retsu tertawa kecil.

“Aku tahu.” katanya singkat. Lisa diam lagi, memperhatikan wajah Retsu yang keibuan. Ada satu pertanyaan interogasi lagi yang masih mengganjal di hati gadis berkacamata itu.

“Oh ya, kak.” Lisa memanggil Retsu, membuat mata Retsu yang lembut menatap matanya yang tertutup bingkai kaca tak berwarna.

“Apa kak Retsu tidak pernah jatuh cinta pada lelaki?” Beban penasaran Lisa sudah berkurang. Memang. Namun, Retsu kebingungan menjawabnya—walau wajahnya tidak menunjukkan kebingungan itu.

Ingin menjawab, ‘Tidak, aku pernah jatuh cinta.’, tapi ia sendiri tidak pernah merasa ‘deg-deg’-an bila dekat laki-laki manapun.

Ingin menjawab, ‘Ya, aku tidak pernah jatuh cinta.’, sebuah pernyataan tidak logis dari seorang gadis remaja, dimana seharusnya sebagian besar dari mereka merasakan first-sight dan kasmaran terhadap ‘pacar’ mereka.

Menjawab apapun, jawaban itu serba salah bagi seorang Yamamoto Retsu.

~~~~~0000~~~~~

Flashback

“Aku menyukai Yamamoto-senpai. Sangat menyukaimu. Karena itu,” Retsu hanya diam, menunggu kelanjutan pernyataan pemuda itu, walau sedari tadi ia sudah menyiapkan senyuman ramahnya. Ralat, bukan hanya senyuman ramah. Senyuman Retsu bisa menjadi pedang dengan banyak mata pedang. Senyuman yang ia tunjukkan juga merupakan senyuman sedih.

Karena ia tahu jawabannya akan menyakiti pemuda itu.

“Terimalah perasaanku ini!” kata pemuda dengan rambut pirang pucatnya tegas walau semburat merah juga mewarnai wajahnya. Retsu mengenalnya sebagai Urahara Kisuke, juniornya yang duduk di bangku kelas 2 SMA. Prestasinya luar biasa untuk bidang tekhnik. Namun, orangnya sedikit sensitive. Retsu takut jawabannya malah akan melukai perasaannya.

Di sisi Urahara sendiri, ia sudah mempersiapkan mental sekokoh tembok baja apabila Retsu menolaknya. Apabila di terima, mungkin ia akan langsung merobohkan tembok itu.

“Maaf,” Kini, Retsu yang bicara. Detak jantung Urahara pun semakin cepat. Retsu sendiri mengambil nafas untuk beberapa detik.

“Aku tidak bisa menerima perasaan Urahara.”

Hancur sudah hatiku, batin Urahara hanya berbicara sejenak.

End of Flashback

“Bumi kepada kak Retsu! Halo? Apa ada orang di sana?” Lisa melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Retsu yang termangu di depan buku tebal yang memuat istilah-istilah penting di dalam ilmu pengetahuan. Itu sudah yang ke-empat kali ia lakukan demi menyadarkan Retsu yang melamun.

“Eh?” Lisa menghela nafas lega begitu ‘kakak’-nya kembai dari dunia lamunan.

Ada apa, Lisa?” tanya Retsu kemudian—ringan seolah tidak ada salah. Helaan nafas lega dari Lisa kini berubah menjadi dengusan.

“Yang harusnya bertanya itu aku! Kenapa kak Retsu tiba-tiba hanya diam dan melamun saja—”

“Ssst!!” desis seorang pria setengah baya bertubuh besar dengan nametag ‘Tessai, penjaga perpustakaan’ yang kebetulan hanya numpang lewat di dekat meja Retsu dan Lisa. Lisa yang hampir berteriak langsung tertunduk malu. Di tambah kikikkan penghuni perpustakaan yang lain. Retsu pun ikutan tertawa kecil.

“Nah, berhenti menertawakanku, kak Retsu!” Lisa langsung komplain begitu tawa kecil Retsu tertangkap di telinganya.

“Ah, maaf. Maaf, Lisa. Oh iya, tadi kamu ingin bilang apa?” Retsu mengingatkan. Lisa lagi-lagi hanya mendengus.

“Enggak jadi deh, kak! Aku sudah lupa!” Lisa langsung menjawab walau cuma jawaban dusta. Sudah terlanjur kesal sih.

“Ya sudah. Ngomong-ngomong, setelah ini kamu mau menemaniku ke taman belakang tidak? Aku ingin mengambil beberapa bunga untuk bahan penelitian minggu depan.” tanya Retsu sembari menutup buku tebal yang ia pegang.

“Aku enggak bisa, kak. Aku ingin makan di kantin saja. Perutku dari tadi bernyanyi terus. Aku duluan ya, kak!” Lisa berdiri dari kursi yang semula didudukinya lalu berjalan menjauhi meja panjang milik perpustakaan itu. Tak lupa, lambaian tangan dari Lisa dib alas oleh Retsu. Setelah Lisa benar-benar menghilang dari pandangannya, Retsu mengambil satu-persatu buku yang di pinjamnya tadi untuk di kembalikan pada rak-nya semula. Buku tebal nan besar memang ciri-ciri buku kesukaannya. Tentu saja dengan bantuan Lisa, ia dapat membawa buku-buku itu. Namun, tanpa adanya Lisa yang membantunya membawa buku-buku tebal itu, Retsu sedikit kewalahan dengan berat 4 buku tebal yang lumayan.

Kaki-kakinya pun mulai kehilangan keseimbangannya, membuatnya berjalan kea rah yang tak tentu. Ke kanan-kiri, ke kanan-kiri, dan…

“Kyaa!!” Akhirnya kakinya menyerah untuk bertahan dan membuat Retsu jatuh. Untungnya, ketika tubuh Retsu sudah berjarak kurang dari 30 sentimeter dari lantai berkarpet merah, sebuah tangan besar sudah sigap menangkap tubuh langsing Retsu. Alhasil, 4 buku tebal pembawa bencana bagi Retsu itu terkena musibahnya sendiri. Jatuh dengan biadab di atas karpet tebal. Retsu hanya dapat menatap buku-buku berharga milik perpustakaan itu miris. Baru beberapa menit kemudian, ia tersadar bahwa tangan sang ‘penolong’nya masih menahan tubuhnya.

“Ah, maaf.” Ucapnya segera, sembari mengalihkan pandangannya pada pemuda yang menolongnya.

“Ah, tidak apa-apa, kok. Lain kali hati-hati, ya!” Si pemuda pun membantu Retsu dan segera membantu gadis itu. Retsu terkesima sebentar menatap wajah sang pemuda.

Wajah tampan dengan kacamata. Rambut cokelat pendek dengan poni belah kiri yang jatuh tepat di atas kacamatanya. Dan tubuh tinggi tegap membuat otak Retsu mencerna bahwa si pemuda adalah kakak kelasnya.

Eh, tunggu! Retsu ‘kan sudah kelas 3 SMA! Pikiran Retsu tiba-tiba menjadi kacau. Kalau saja, ia tidak bisa menjaga imej-nya sebagai gadis pendiam yang tenang, ia akan mengacak-acak rambutnya. Ya, salah tingkah.

“Ehm, kau tidak apa-apa ‘kan?” Uh oh! Sepertinya si pemuda merasa risih di pandangi Retsu dalam waktu yang cukup, emm lama?

“A..ah, aku tidak apa-apa, kok. Terima kasih, ya.” Retsu langsung menunduk hormat. Lagi-lagi si pemuda merasa risih, terbukti dengan ‘Tch’ di iringi tangannya yang mengacak-acak rambut cokelatnya—tanpa di ketahui Retsu tentu saja.

“Ah, tidak usah sehormat itu, Retsu-senpai!” Retsu mengangkat wajahnya dengan sedikit terkejut. Pemuda itu barusan memanggilnya ‘-senpai’?

“Eh, baik. Ngomong-ngomong, kamu siapa?” Retsu bertanya dengan gugup. Itu baru kali pertama ia bicara gugup seperti itu di depan laki-laki selain ayah dan kakaknya. Di tambah pula rona brwarna merah muda yang menghiasi pipinya. Untungnya pemuda itu tidak mengetahui rona merah seorang putri pemilik yayasan Seireitei yang terkenal tenang seantero sekolah.

“Ah, iya. Aku belum memperkenalkan diri. Namaku Aizen Sousuke, kelas 2-B. Salam kenal, Yamamoto Retsu-senpai.” kata pemuda yang mengenalkan namanya sebagai Aizen Sousuke sambil mengulurkan tangan kanannya yang kokoh. Retsu memandangi tangan si kacamata sejenak. Jauh di lubuk hatinya, dua sisi tengah berdebat, perihal jabat tangan yang di tawarkan. Aizen sendiri masih berharap dapat menjabat tangan sang idola sekolah-yang-bukan-idolanya.

“Eh, ah. Aizen-kun, ya. Salam kenal juga.” jawab Retsu gugup lagi, dan menjabat tangan pemuda yang mampu membuat wajahnya merona dan memunculkan kegugupan Retsu untuk yang pertama kali.

Kami-sama, apa yang terjadi padaku?

~~~~~0000~~~~~

Pukul 3 sore. Para siswa di persilahkan pulang karena pelajaran sudah usai, membuat inner mereka berteriak senang akan penyiksaan sehari di bangunan bernama sekolah—walau mereka tahu esok dan esoknya lagi masih ada ‘penyiksaan’ lain. Tapi ya, biarkanlah mereka senang untuk beberapa jam sebelum ‘penyiksaan’ lain datang.

Tapi tak sedikit pula ada siswa yang masih berada di sekolah. Melakukan kegiatan ekstrakurikuler, les privat pada guru dan bahkan mojok pacaran di kelas kosong.

Dasar anak muda zaman sekarang. Pulang sekolah bukannya untuk mengerjakan tugas tapi malah mojok.

Retsu menghela nafas, begitu tak sengaja lewat di depan kelas biologi dan ‘mengintip’ dua adik kelasnya, Hyourinmaru dan Shirayuki tengah berpegangan tangan sambil duduk bersandar di dinding. Takut di kira pengintip hubungan orang, Retsu mempercepat langkahnya menjauhi kelas biologi nista itu.

“Retsu-senpai!” Baru saja, dia keluar dari pintu gerbang, Retsu mendengar suara yang taka sing lagi di telinganya. Tanpa di komando, Retsu menoleh pada sumber suara.

Yak, benar. Sosok pemuda itu muncul lagi dan tertangkap di retina mata Retsu.

Aizen Sousuke. Dengan sepeda motor sederhananya, bergerak pelan ke tempatnya berada.

“Oh, selamat..sore, Aizen-kun.” sapa Retsu dengan kegugupannya begitu motor Aizen berhenti tepat di depannya. Aizen tersenyum.

“Aah~ senpai orangnya selalu formal seperti ini, ya?” tanya Aizen sambil tertawa kecil, membuat rona merah muda di pipi Retsu berubah menjadi merah!

“Ai..Aizen-kun bisa saja.” kata Retsu sambil menggenggam buku sastra favoritnya lebih erat. Kegugupannya masih saja muncul! Nampaknya, Aizen mulai mengetahui kegugupan seniornya lalu merubah senyum ramahnya menjadi senyuman jahil dan menatap gadis berkepang itu nakal.

“Aizen-kun, ada apa dengan tatapan dan senyumanmu itu?” Retsu pun juga tak kalah cepat menyadari tatapan dan senyuman nakal dari sang junior.

“Ah, tidak. Tidak apa-apa, kok.” Aizen mengelak sambil melipat tangannya—tentu saja senyuman jahil masih menghiasi wajah dewasanya. Retsu menggembungkan kedua pipinya.

“Ah, Aizen-kun jahat! Kasih tahu enggak!” paksa Retsu sambil memukulkan buku sastra tebalnya pelan pada bahu Aizen. Aizen hanya tertawa menerima pukulan tidak serius dari seniornya yang baru di kenalnya dekat tadi siang.

“Eh, ampun, senpai! Ampun, hahaha!” Retsu lalu berhenti memukulkan buku tebalnya. Tak lama kemudian semburat merah di pipinya makin menjadi. Retsu sendiri berusaha menutupinya dengan segera mengembangkan senyum keibuannya.

“Oke, karena aku sudah mengerjai senpai, bagaimana kalau hari ini aku traktir senpai makan? Setelah itu aku akan mengantar senpai pulang.” tawar Aizen sambil mengencangkan tali penyangga tasnya. Retsu nampak kebingungan. Di rumah pasti kakaknya sedang terbatuk-batuk karena menunggu obatnya. Ayahnya sendiri terlalu sibuk dengan yayasan.

Tapi, pemuda di depannya.

Dengan senyuman hangat yang murni di wajahnya yang nampak lebih dewasa darinya. Hal yang tak dimiliki pemuda lain, membuatnya, untuk pertama kali terketuk akan senyuman dan wajah ke-bapakan Aizen di balik kacamata kotaknya.

Membuatnya, untuk pertama kali, merasakan apa yang Hyourinmaru dan Shirayuki rasakan.

Membuatnya, untuk pertama kali, melupakan impiannya di masa depan yang belum tentu akan memihak padanya.

Membuatnya, untuk pertama kali, merasa gugup dan tersipu malu di depan laki-laki.

Ya, untuk yang pertama kali, Retsu merasakan cinta.

“Ya, boleh.” jawab Retsu sambil menganggukkan kepalanya. Aizen lagi-lagi hanya tersenyum.

“Ayo, naik, Retsu-senpai!” komando Aizen segera di laksanakan Retsu. Retsu mengangkat roknya yang panjang, sambil mengatur posisi buku-buku yang ada di tangannya. Tasnya pun tergeletak manis di pangkuannya.

Aizen pun menyalakan mesin motornya dengan manis.

Suaranya lucu, Retsu berbicara pada dirinya sendiri.

“Kita berangkat!” Aba-aba Aizen membuat Retsu memeluk buku-bukunya erat, takut benda kesukaannya itu akan jatuh untuk yang kedua kali—dan termasuk omelan sang petugas perpustakaan. Motor bebek itu pun melaju di jalanan dengan dua manusia—yang tanpa sadar satu di antara mereka sedang jatuh cinta duduk di atas kursinya.

Tanpa di sadari Aizen dan Retsu, sebuah mobil berwarna hitam terparkir di seberang jalan. Kaca hitam yang terbuka separuhnya bukti bahwa ada seseorang yang mengamati Aizen dan Retsu.

Sepasang mata hitam dari seorang pria dengan wajah pucat yang bijak—meski tidak sepucat rambutnya, mengikuti arah laju motor siswa SMA kelas 2 yang memboncengi kakak kelasnya.

“Jadi, kau mulai melupakan janjimu kepadaku, Retsu?” Singkat, namun terdengar tajam dan dingin—nada yang tak biasa di nyatakan sang kakak.

~~~~~0000~~~~~

Retsu dan Aizen tiba di sebuah restoran yang kelihatan megah di luar. Retsu berusaha sekeras mungkin untuk tidak tercengang dan terkejut.

Anak SMA sudah mampu pergi ke restoran Perancis bintang 5?

Retsu memang putri dari ketua yayasan yang tentunya tak bisa hidup tanpa adanya uang, tapi seumur-umur, ia belum pernah makan di luar rumah. Apalagi sebuah restoran mewah seperti ini.

Aizen membuka pintu restoran dan langsung di sambut oleh dua pelayan muda. Retsu memperhatikan juniornya berbincang-bincang sangat akrab dengan dua pelayan laki-laki itu. Bahkan, dua pelayan laki-laki nampak menggoda Aizen dengan entengnya.

Sebenarnya siapa Aizen ini? Retsu sendiri penasaran.

“Retsu-senpai, kamu belum memesan makanan dan minuman. Rojuro-san sudah capek menunggu, lo!” Suara Aizen membuyarkan lamunan si gadis berkepang yang belum sama sekali membolak-balikkan halaman menu restoran itu.

“Eh?” Begitu sadar, wajah Retsu kembali merona karena malu dipergoki oleh juniornya. Untungnya, menu yang ada di depannya menutupi sebagian wajahnya. Aizen tersenyum maklum.

“Baiklah, Rojuro-san untuk gadis ini, Tartiflette saja sudah cukup. Minumannya…”

“Emm, Ice Lemon tea saja.” sela Retsu cepat. Ia merasa sudah merepotkan adik kelasnya itu yang sudah mentraktirnya sebuah Tartiflette. Ah, nama yang aneh untuk sebuah makanan. Pelayan bernama Rojuro mencatatnya cepat, dan mengulangi pesanan dua anak berseragam SMA itu sebelum kembali ke counter dapurnya.

Hening. Ya, Aizen dan Retsu sama sekali tidak membuka mulut mereka masing-masing setelah memesan makanan dan minuman. Retsu hanya tertunduk sambil memegangi buku sastra yang masih di pangkunya, sementara Aizen memandang jauh pemandangan di sisi lain jendela bening.

“A..ah, Aizen-kun,” Retsu memberanikan diri memanggil pemuda berkacamata yang masih menatapi jendela, setelah beberapa saat membiarkan suasana hening mewarnai mereka. Tentu saja Aizen menoleh pada seniornya itu.

“Ada apa, Retsu-senpai?” Deg! Dada Retsu berdebar tak karuan begitu melihat wajah Aizen yang tersenyum. Wajahnya pun terlihat semakin dewasa. Retsu menelan air liurnya—dan perlu di ingatkan lagi, ini yang kali pertama Retsu lakukan ketika kebingungan. Apalagi di depan seorang laki-laki lain selain ayah dan kakaknya!

“Um, ano, sebenarnya Aizen-kun ini..siapa? Kenapa kamu terlihat akrab..dengan pelayan-pelayan itu?” Retsu merasakan urat malunya akan putus karena melontarkan pertanyaan aneh kepada laki-laki yang di temui dan yang menjadi cinta pertamanya dalam satu hari.

“Oh, itu..aku dulu bekerja di sini setelah ibuku bercerai. Rumah sakit Ishida milik ayah yang ditutup pemerintah Jepang di Kyushu, membuat ayahku, Ishida Soken menceraikan ibu, yang merelakan ibu mendapat laki-laki lain. Ibu yang awalnya menolak akhirnya menyetujui perceraian itu dengan berat hati. Aku, Ryuken—adikku dan ibu pindah ke kota ini, dua tahun yang lalu. Setelah itu, Ryuken di jemput keluarga Ishida. Lalu keluarga brengsek itu meninggalkanku di kota ini,” Aizen menggeram kesal mengingat kenangan buruk yang di alaminya. Retsu hanya tertunduk sedih.

“Aku tahu ayah punya maksud buruk menceraikan ibu dan hanya menjemput Ryuken dari Hokkaido! Dasar ayah brengsek!” Aizen yang sedari tadi berusaha menahan amarahnya, akhirnya meledakkan emosi negatifnya. Retsu memejamkan mata sebentar, lalu tersenyum sedih.

Tangan langsingnya bergerak, meraih tangan besar Aizen.

“Retsu-senpai.” Aizen sedikit terkejut begitu tangan seniornya memegang tangannya. Mengelu-ngelus jemari besarnya. Mengingatkannya pada sang ibu yang sudah meninggal.

“Ehem, Sousuke-san.” Tanpa di sadari dua insan berwajah dewasa itu, Rojuro sudah datang dengan membawa nampan penuh makanan dan minuman—sambil berdehem pelan. Aizen segera menoleh pada Rojuro dan terkekeh-kekeh. Wajah cantik Retsu langsung memerah, begitu juga tangannya yang langsung melepas tangan Aizen.

Oh, Kami-sama, apa yang telah kulakukan?

~~~~~0000~~~~~

“Ah, kenyang-kenyang!” Aizen berseru puas, tak menghiraukan keadaan Retsu yang menahan rasa mualnya setelah menghabiskan Tartiflette. Dan lebih dari itu, demi menghabiskan masakan Perancis itu, Aizen sampai menyuapi Retsu.

“Habis ini mau kemana lagi, senpai?” tanya Aizen pada saat yang tidak tepat. Retsu teersenyum. Ya, senjatanya hanya tersenyum.

“Kita pulang saja, ya? Aku sudah capek, apalagi besok ada PR.” pintanya.

“Ah, senpai..”

“Ya?” Kali ini, untuk pertama kalinya lagi, ia mengeluarkan senyuman horor, yang belum pernah sekalipun di tujukan di depan umum. Senyuman itu terbukti ampuh pada Aizen, karenanya pemuda berpakaian gakuren menelan air liurnya takut.

“Oh, oke.” Aizen sweatdropped, melihat senyuman horor dari seorang gadis keibuan seperti Retsu. Retsu lalu kembali tersenyum ramah, padahal dalam hatinya, ia menyalahkan dirinya mengeluarkan senyuman mengerikan seperti tadi.

“Tapi,” Suara Aizen terdengar lagi setelah sibuk ber-sweatdropped karena senyuman seniornya. Retsu kembali menatap Aizen.

“Senpai memang cantik, ya. Dan aku baru tahu, kalau senpai gadis yang seperti ini.” Aizen melanjutkan kata-katanya, dan sukses mebuat Retsu tersipu lagi.

“Apa.. apa maksudmu, Aizen-kun?” tanya Retsu dengan emosi yang bercampur.

“Bukan maksud apa-apa. Tapi tidak kusangka, senpai yang selalu tenang dalam menghadapi masalah apapun—termasuk masalah cowok, ternyata bisa jadi gugup seperti ini. Senpai yang biasanya selalu tersenyum penuh kelembutan, ternyata bisa tersenyum mengancam tadi. Aku tak menyangka, lo!” Aizen menjelaskan panjang lebar jujur dari dalam lubuk hatinya. Rona merah wajah Retsu pun menjadi-jadi. Bahkan kalau mau di samakan, wajah Retsu sudah semerah tomat.

“Ah, aku tidak bermaksud menyindir senpai, hanya saja…” Aizen sibuk mengusap-usap kepalanya—kebingungan mencari jawaban.

“Tidak apa-apa, terima kasih Aizen-kun sudah mau jujur.” Retsu menyela lagi sambil tersenyum tulus. Di sisi Aizen sendiri, wajah pemuda tinggi dengan rambut cokelat buah pinus itu memerah melihat senyuman Retsu.

“Ayo kita pulang. Sudah sore.” kata Retsu sembari naik ke kursi bagian belakang motor terlebih dulu. Aizen hanya menatap Retsu yang masih merapihkan posisi buku dan tas slempangannya. Ada debaran yang lain saat dirinya memandang sang senior yang selalu tampil di luar, namun banyak menyimpan rahasia mengejutkan di dalam diri Retsu.

~~~~~0000~~~~~

Pagi yang sama seperti pagi lain. Retsu berjalan menuju kamar kakaknya sambil membawa semangkuk sup jamur, beberapa pil dan segelas air putih di atas nampan perak. Baju tidurnya sudah berganti dengan seragam sekolahnya. Retsu mengetuk pelan pintu putih kamar kakaknya, dan memutar gagang pintu begitu ada perintah, “Masuk!” dari dalam kamar.

“Selamat pagi, Retsu!” sambut Juushirou yang masih duduk di atas tempat tidur. Selimutnya masih menutupi sebagian tubuhnya dan bantal masih menyangga punggungnya.

“Selamat pagi, kakak.” Retsu membalas sapaan sang kakak kalem. Ia lalu duduk di kursi dekat tempat tidur king-size pria berambut putih itu. Tangan kanannya mengambil sendok perak dan tangan kirinya mengambil mangkuk sup yang masih panas. Di ambilnya sesendok sup dan perlahan meniupnya, supaya uap panasnya hilang. Setelah itu, sang adik menyuapi kakaknya. Hal yang sama dilakukan Retsu sampai akhirnya isi sup sudah habis dan saatnya Juushirou meminum obatnya. Pahit, lidah Juushirou mengerang.

“Ayo di minum, kak. Supaya lekas sembuh.” bata Retsu sambil menyerahkan gelas bening bersih pada kakaknya.

“Terima kasih.” kata Juushirou setelah meneguk air putihnya. Ia lalu menatap Retsu dalam.

“Retsu,” panggilnya kemudian. Retsu menoleh pada kakaknya dan kemudian tersenyum tanpa sepatah katapun.

“Hari ini, langsung pulang cepat ya. Kakak cemas sampai mencari-carimu.” Deg! Jantung Retsu seakan berhenti mendengar baris kalimat terakhir.

Lagi-lagi tanpa sepatah katapun, Retsu mengangguk patuh.

Jangan-jangan kakak mengetahui aku pergi bersama Aizen-kun?

“Kak Retsuuu!!” Lisa berlari menghampiri Retsu yang hanya duduk di bangkunya lemas.

“Eh, Lisa? Ada apa?” tanya Retsu tersadar sambil memasukkan buku sastra yang kemarin di pinjamnya dari perpustakaan ke tas.

“Kata orang-orang, kemarin, kau pergi dengan si Aizen Sousuke itu, ya?” Mata Lisa langsung berbinar-binar. Wajah Retsu langsung memerah, disertai anggukan—membuat Lisa semakin histeris.

“Wah, ternyata kakakku bisa juga jatuh cinta! Ne,ne, bagaimana ceritanya sampai kak Retsu bisa jalan bareng Aizen?” desak Lisa membuat Retsu tertunduk malu.

“Ah, Lisa. Kami baru saja kenalan lusa kemarin kok. Dia menolongku dan mengantarkanku pulang ke rumah.” Retsu menjelaskan kronologis pertemuan pertama Retsu dengan Aizen dua hari yang lalu di perpustakaan.

“Wah, lalu-lalu? Bagaimana hubungan kalian sekarang?” Lisa menyikut ‘kakak’nya pelan sambil tersenyum jahil. Retsu berusaha menahan rona merah wajahnya supaya wajahnya tidak terbakar karena rasa malunya rahasianya terbuka.

Bagaimana Lisa bisa tahu sih?

“Aduh Lisa, kita itu seperti kakak-adik yang saling melengkapi, sama sepertimu dan aku.” Retsu menghela nafas setelah menjelaskan pada Lisa. Bukan karena berat mengatakannya, tapi ia tidak ingin perasaannya di ketahui oleh Lisa.

Perasaannya yang mulai tertambat pada seorang seperti Aizen Sousuke.

~~~~~0000~~~~~

Retsu’s POV

…Oh Kami-sama, jangan biarkan perasaan ini hanya mengambang.

Aku tahu, aku hanyalah gadis yang buta akan cinta dan satu-satunya makhluk bernama laki-laki yang menyentuh hatiku adalah ayah dan kakakku.

Tapi, aku menemukan cinta melalui bimbingan Aizen-kun.

Senyuman hangatnya, wajah dewasa dengan kacamata dan tatapan matanya menyembuhkan kebutaanku akan cinta selama 17 tahun.

Dan membuatku, melakukan hal yang ‘tidak normal’ di depannya. Untuk yang pertama kali.

Kalaupun perasaan Aizen-kun tidak sama denganku, biarkan Aizen-kun tetap menjadi teman spesial di hatiku, Tuhan.

“Sampai disini saja, Aizen-kun.” pinta Retsu begitu motor bebek sederhana-namun-terlihat-keren Aizen hampir melewati pintu gerbang rumah dengan papan emas ‘Yamamoto’ terpampang. Sesuai permintaan sang senior, Aizen menghentikan mesin motornya. Perlahan, Retsu turun dari motor milik si sulung keluarga Ishida yang mengganti nama marganya menjadi nama marga ibunya.

“Ah, terima kasih lagi untuk hari ini ya, Aizen-kun.” Kata Retsu sambil tersenyum tulus. Pada hari itu—sama seperti dua hari sebelumnya, Aizen mentraktir Retsu makan sambil berjalan-jalan sebentar mencari buku.

“Ah, bukan masalah, senpai. Kalau ada apa-apa, bilang saja padaku ya? Aku bersedia mengantar senpai, kok.” kata Aizen sambil tersenyum mantap. Retsu membalas senyuman sang adik kelas, sembari berusaha menyembunyikan mukanya yang hampir seperti stroberi.

“Tapi, aku merasa telah merepotkan Aizen-kun selama 3 hari ini.” Retsu menambahkan dengan memasang tampang bersalah dan menyesal. Aizen menggeleng cepat.

“Ah, aku sama sekali tidak keberatan, kok. Aku malah senang menemani senpai. Itu, karena aku..” elak Aizen tak kalah cepat. Namun, tiba-tiba saja wajahnya ikut merona merah dan tertunduk..malu?

Kreet! Belum Aizen melanjutkan kalimatnya, pintu gerbang terbuka, membuat Retsu dan Aizen sama-sama beralih pada pintu gerbang besar itu.

“Retsu?” Juushiro pun muncul dari sisi pintu gerbang yang lain.

“Kakak,” Retsu segera berlari kecil pada kakaknya lalu memegang tangannya.

“Kenapa kakak keluar dari kamar? Kakak ‘kan sakit.” Kata Retsu cemas. Juushiro tersenyum merasa bersalah.

“Di kamar aku lebih mencemaskanmu, Retsu. Lalu..” Juushiro lalu beralih pada Aizen yang kini turun dari motornya dan berdiri di tempatnya.

“Se..selamat sore, Yamamoto-sama.” sapa Aizen yang berusaha tetap ramah walau ia merasa sang kakak dari seniornya menatapnya tajam. Tanda tak suka.

“Siapa kau? Dan kenapa kau bersama adikku?” tanya Juushirou dengan nada dingin.

“Kakak!!” Sontak, Retsu terkejut begitu mendengar nada tidak suka keluar lagi dari mulut Juushirou, begitu mengetahui ada laki-laki yang dekat dengan adiknya.

“Dia Aizen Sousuke-kun. Orangnya baik, kok dan kami berteman baik. Jadi jangan bersikap dingin pada Aizen-kun ya?” Juushirou tetap saja mendelik pada Aizen.

“Oh, Aizen Sousuke, ya? Apa dia sudah menghipnotismu sehingga kamu bisa berteman dengannya, Retsu?” Juushirou tidak memperdulikan kata-kata dari sang adik.

“Maafkan saya, Yamamoto-sama.” Aizen menunduk hormat di hadapan Juushirou dan Retsu, walau sebenarnya dalam hati ia ingin sekali mencincang pria berambut putih panjang itu yang sudah menuduhnya sembarangan dan mencurigainya.

“Kakak apa-apaan, sih?” Tiba-tiba saja, kemarahan Retsu mengarah pada sang kakak yang tidak suka pada pemuda yang dicintainya. Tanpa pikir panjang lagi, Retsu langsung beralih lagi pada Aizen dan memeluk lengannya.

“Aizen-kun, maafkan kakakku, ya?” kata Retsu kemudian. Aizen mengangkat wajahnya, sehingga matanya bisa menatap lurus mata Retsu. Baik Retsu dan Aizen saling melempar senyum mereka.

“Retsu, kembali kesini! Jangan dekat-dekat dengan pemuda itu!!” Juushiro setengah berteriak memanggil adiknya. Walau ia juga tahu, teriakan itu hampir menguras tiga perempat dari kesehatannya. Retsu, menoleh tajam kepada sang kakak.

“Kakak! Kakak tidak mengerti apa-apa! Kakak tidak mengerti alasanku bersamanya—menjadi orang yang memperhatikannya yang sudah sebatang kara! Kakak juga tidak mengerti perasaanku yang mencintai Aizen-kun!” Juushirou hampir jatuh mendengar pernyataan adik tercintanya. Begitu juga Aizen yang langsung tersenyum penuh lega dan rasa bahagia, karena peraasaannya juga sama dengan sang senior.

“Kamu bicara apa, Retsu?! Ini tidak serius ‘kan? Bagimana dengan janjimu untuk mewujudkan impianmu? Dan bagaimana denganku?!” Juushirou berteriak lantang, kecewa akan sang adik yang lebih memilih Aizen. Retsu memejamkan matanya dan menarik nafas dalam. Berusaha tetap tenang dan tidak emosi—seperti sang kakak.

“Aku serius, kak. Sebelum mengenal Aizen-kun, aku memang selalu menolak perasaan mereka terhadapku dengan bayang-bayang ‘harus mengejar mimpi’. Tapi, apa kakak tidak sadar? Suatu hari, adikmu ini akan dapat jatuh cinta bila ada orang yang berhasil membuatnya ‘berubah’? Aizen-kun adalah orang yang kucintai dari lubuk hatiku, kak, jadi mengertilah.” Retsu mengakhiri penjelasan panjangnya dengan permintaan yang di ucapkan lirih.

“Retsu, kau pengkhianat!” ucap Juushirou tajam pada Retsu, membuat sang gadis dengan rambut hitam pekat itu terkejut.

“Kakak—”

“Diam!” Sebelum Retsu dapat menyela kakaknya, Juushirou sudah memotong perkataan Retsu lebih cepat.

“Jangan pernah kau panggil aku ‘kakak’ lagi! Kau telah mengkhianati keluarga ini dan mengkhianatiku!”

“Kakak, kumohon mengertilah. Tidak bisakah kau menerima satu laki-laki lagi yang masuk dalam kehidupanku selain ayah dan kakak?” Mata Retsu mulai panas karena emosi yang bercampur. Sedih, kecewa, dan marah. Semua berkumpul jadi satu, menyesakkan dadanya. Juushirou memalingkan wajahnya.

“Pergi!”

“Ka..kak? Apa kakak..tidak lagi peduli..padaku? Apa kakak..juga—”

Aku bilang ‘pergi’!! Aku muak melihatmu!!” Juushirou kembali melangkah memasuki pintu gerbang rumahnya. Tidak di ketahui Retsu dan Aizen, air mata Juushirou turun deras sambil memegangi dadanya yang sakit.

Air mata Retsu sendiri juga mengalir tanpa sadar, dari kedua matanya saat melihat pintu gerbang rumahnya tertutup rapat.

Kecewa. Sebesar itukah rasa kekecewaan Juushirou pada Retsu yang jatuh cinta pada seorang pemuda? Retsu pun juga kecewa pada kakaknya yang memanggilnya ‘pengkhianat keluarga’ hanya karena pemuda yang dicintainya.

“Retsu-senpai,” Aizen memegang bahu Retsu. Retsu menoleh pada Aizen dan langsung mengadu dalam pelukan adik kelasnya.

“Ini salahku, sampai Retsu-senpai di usir. Maafkan aku.” Kata Aizen lirih. Sengaja untuk menahan air matanya yang sudah menggantung. Retsu hanya menggeleng—tanpa diketahui Aizen.

“Bukan kamu.. Aizen-kun. Aku-lah..yang memutuskan untuk..tetap mencintaimu, Aizen-kun.” Isak Retsu lalu tersenyum. Aizen memeluk seniornya lebih erat.

“Aku juga mencintaimu, Retsu-senpai, dan aku ingin bersamamu. Bagaimana, senpai?” Sepotong kalimat berupa pernyataan perasaan seorang laki-laki pada perempuan itu terdengar lagi di telinga Retsu.

Dan untuk yang pertama kalinya, di bawah senja yang mulai menghitam, Retsu mengangguk dan berkata,

“Ya, aku juga ingin bersamamu, Sousuke. Selamanya.”—menerima pernyataan cinta dari pemuda yang mencintai dan dicintainya.

Terima kasih, Tuhan.

Perasaanku bisa bertaut dengan perasaannya.

Untuk kakakku tercinta, aku tidak bisa hidup tanpa Sousuke.

Untuk ayah dan almarhumah ibuku terkasih, restui cintaku dan Sousuke.

Untuk Sousuke, bimbinglah aku sekali lagi. Kali ini, kita menuju bahtera indah yang menanti di depan mata.

End: For the First Time
April 16th 2010
9.03 PM

~~~~~0000~~~~~

A/N: Endingnya geje! TAT. Tapi, akhirnya selesai, fanfict untuk Viva Fest.! –nangis haru-. Maaf saya sangat terlambat, Himeka-san, senpai-tachi, author-tachi beserta reader-tachi /di tabok / T_T. Habisnya, udah SMA kecekik tugas melulu. Liburan juga gak bisa santai, malah jadi babu di rumah /plakk/

Untuk fic request juga musti di tunda (?) karena tugas yang amit-amit.

Akhir kata, selamat menikmati karya abal dan enggak jelas milik saya. Mohon maaf apabila ada kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan seorang. (jadi kayak pidato ^_^a)

Rizu, Thanatos wanna-be.

Song

counter